
Jikalau kita larut dalam kebencian dan tenggelam dalam kedendaman, sehingga waktu kita habis hanya untuk mendramatisir sebuah masalah yang menimpa kita. Andaikata, kita membenci seseorang berarti kita telah siap untuk mewakafkan hidup kita dan pikiran kita untuk terus memikirkan dia. Kebahagiaan kita akan tersita bahkan kita tidak bisa makan dan tidur karena memikirkan dia sedangkan dia mungkin sudah tertidur pulas.
Akankah, kita gadaikan kehidupan kita dengan perasaan dendam dengan penuh kebencian. Kalau saja kebencian itu membahagiakan dan menjadi solusi, silahkan untuk benci!, tapi yang terjadi kebencian yang melanda kita justru hanya akan menghancurkan cara berpikir kita, melumatkan raut wajah kita, membuat kotor tutur kata kita, membuat gelisah batin kita, membuat tidak sehat kehidupan kita, akhlak kita melorot menjadi hina buah dari kebusukan hati yang melanda diri ini.
Oleh karena itu jangan sia-siakan hidup kita hanya dengan menjadi seorang pendengki dan pendendam, jadilah seorang yang pemaaf, percayalah seorang pemaaf Insya Allah hidupnya lebih ringan .Bukankah kita ingin menikmati hidup ini? Saudaraku, kenikmatan hidup tidak akan dimiliki oleh orang yang hatinya diselimuti kebencian dan perasaan dendam. Memaafkan orang lain itu indah, sehingga kita Insya Allah akan merasa lapang, itulah derajat orang-orang yang mulia. Wallahu a’lam.
|
Dari pengamatan
saya, dalam kebanyakan budaya kita masa ini senantiasa diiringi dengan acara
saling memaafkan, baik sebelum mulai menjalani puasa maupun pada saat Lebaran
nanti.
Meski demikian, apa benar hanya pada masa-masa ini saja kita bisa memaafkan? Bukankah sesungguhnya dalam hidup sehari-hari kita juga sering terlibat dengan tingkah laku yang satu ini? Sebagai contoh, mari kita simak beberapa pertanyaan berikut. Ada seorang istri bertanya, Mungkinkah saya memaafkan suami saya yang sudah berselingkuh? Sama sekali saya tidak menyangka dia tega melakukan hal itu kepada saya. Seorang yang lain mengatakan, Bagaimana cara saya memaafkan kesalahan ayah saya yang sering memukuli saya dengan ikat pinggangnya waktu saya masih kecil. Pertanyaan lain, Pacar saya sering sekali terlambat datang, tidak sesuai dengan janji. Sekali dua kali, ya, saya bisa memaafkan, tetapi kalau terus-terusan? Arti maaf Dari jawaban umum, kita bisa mengartikan memaafkan sebagai mengampuni kesalahan, tidak mendendam, memberi remisi, atau pembebasan . Secara psikologis, memaafkan merupakan proses menurunnya motivasi membalas dendam dan menghindari interaksi dengan orang yang telah menyakiti sehingga cenderung mencegah seseorang berespons destruktif dan mendorongnya bertingkah laku konstruktif dalam hubungan sosialnya (Cullough, Worthington, Rachal, 1997). Dari contoh pertanyaan-pertanyaan di atas terlihat banyak kejadian menyakitkan hati akibat dicaci, dibohongi, ditipu, atau dikhianati orang lain, yang membuat kita sering sulit memberi maaf. Mengapa? Fiksi Menurut Janis Spring (1996), ada lima anggapan keliru tentang memaafkan yang mungkin membuat kita berhenti belajar melakukannya. 1. Pemaafan terjadi secara total dan sekaligus. 2. Ketika Anda memaafkan, perasaan negatif terhadap orang lain berganti menjadi perasaan positif. 3. Ketika memaafkan seseorang, Anda mengakui perasaan negatif Anda padanya adalah salah atau tak dapat dibenarkan. 4. Bila Anda memaafkan, Anda tidak akan mendapat imbalan apa pun. 5. Bila Anda memaafkan seseorang, Anda melupakan luka hati Anda. Dengan memercayai fiksi-fiksi tersebut, maka sepertinya tingkah laku memaafkan jauh untuk bisa kita jangkau dan membuat kita jadi berpikir hanya orang suci atau nabilah yang dapat melakukannya karena harus dilakukan tanpa syarat, secara total, dan dengan cara mengorbankan diri pribadi. Fakta Padahal menurut Spring, ahli psikologi klinis dari Yale University, AS, memaafkan bukanlah tindakan yang bersih murni dan tidak mementingkan diri sendiri. Memaafkan adalah bagian dari proses yang dimulai ketika kita berbagi rasa sakit hati setelah peristiwa menyakitkan berakhir dan akan berkembang begitu kita punya pengalaman mengoreksi diri, yang membangun kembali rasa percaya dan keakraban terhadap orang lain. Untuk memperbaiki dugaan keliru tadi, kita perlu melihat kenyataan yang sesungguhnya terjadi pada kita sebagai manusia biasa agar dapat lebih mudah belajar memaafkan kesalahan. Fakta 1. Proses memaafkan selalu berlangsung perlahan dan berlanjut sepanjang hubungan kita dengan orang tersebut. Mungkin saat ini kita hanya dapat memaafkan kesalahan seseorang sebanyak 10 persen, dan begitu kita membina hubungan kembali kita mungkin dapat menambah dengan 70 persen, tetapi tak pernah lebih banyak lagi. Hal di atas sah-sah saja. Kita tak perlu menjadi orang baik bila kita memaafkan secara total, kita juga tak perlu menjadi jahat bila tak bisa melakukannya. Kita hanya dapat memberi apa yang mampu kita berikan dan apa yang orang lain peroleh. Fakta 2. Beberapa orang mungkin bertahan untuk memaafkan karena melihatnya sebagai penghentian permusuhan/dendam, suatu kondisi di mana kepahitan lenyap digantikan rasa cinta dan kasih. Padahal sebenarnya tak ada orang mampu mencapai kondisi seperti itu. Dalam hidup, luka psikis tak pernah sepenuhnya sembuh atau menghilang, ataupun secara ajaib digantikan hal positif lain. Yang benar, seperti halnya cinta yang matang, memaafkan membolehkan adanya pertimbangan serempak perasaan yang bertentangan, gabungan dari rasa benci dan cinta. Bila kita memaafkan, kebencian kita tetap ada, tetapi diimbangi dengan kenyataan orang yang menyakiti tidaklah begitu buruk ataupun kita yang telah sangat naif. Fakta 3. Sebenarnya, dengan memaafkan bukan berarti kita mengingkari kesalahan pelaku atau ketidakadilan yang telah terjadi, tetapi hanya membebaskannya dari ganti rugi (retribusi). Fakta 4. Beberapa orang tak mau memaafkan karena berpikir, Mengapa saya harus membebaskan seseorang dari kewajiban memperbaiki kesalahannya? Padahal, dengan memaafkan tidak berarti kita lemah atau harus membuat orang lain jadi tidak bertanggung jawab. Bila tujuan kita berekonsiliasi, memaafkan memerlukan penebusan dari pelaku. Pemaafan yang sesungguhnya tak bisa diberikan sampai pelaku membayarnya melalui pengakuan, penyesalan, dan penebusan. Fakta 5. Yang benar, bagaimanapun orang yang disakiti tak pernah akan lupa seperti apa kita telah diperdaya atau dikhianati, apakah kita memaafkan atau tidak. Setelah bertahun-tahun berlalu, kita akan tetap bisa mengingatnya, tetapi hanya sebagai bagian dari suatu gambaran/potret yang juga melibatkan masa-masa kebersamaan lain yang lebih positif dengan pelaku. Salam hangat. |
No comments:
Post a Comment