Amerika

Sunday, October 6, 2013

Hamka: Teguh Pendirian namun Tak Pendendam




hikayat_1_ed29
Meskipun bersilang keris di leher,
Berkilat pedang di hadapan matamu,
Namun yang benar kau sebut juga benar.

Penggalan puisi di atas adalah karya Hamka [Haji Abdul Malik Karim Amrullah] yang khusus diciptakannya setelah mendengar pidato M. Natsir dalam Sidang Konstituante tahun 1957. Jelas sekali, penggalan puisi itu menunjukkan ia seorang yang teguh memegang keyakinannya. Apa yang dianggap benar akan diperjuangkan, meski seberat apa pun ancaman yang diterimanya. Prinsip ini ia pegang sampai akhir hayatnya.
Hamka adalah salah seorang yang sangat berperan dalam sejarah awal pembentukan Indonesia. Ia pernah duduk sebagai anggota Badan Konstituante. Posisinya itu membuat ia semakin kritis. Pada sebuah acara di Bandung, Hamka menyampaikan pidato yang menolak gagasan Soekarno tentang demokrasi terpimpin.
Suasana saat itu memang penuh dengan perdebatan tentang konstitusi negara Indonesia. Perdebatan itu berujung pada dikeluarkannya Dekrit Presidan 5 Juli 1959. Salah satu isinya tentang pembubaran Badan Konstituante.
Menyikapi kondisi itu, Hamka berinisiatif menerbitkan majalah yang diberi nama Panji Masyarakat. Ia duduk sebagai pemimpin redaksinya. Panji Masyarakat menjadi alat perjuangan baru bagi Hamka dengan memuat tulisan-tulisan bertema kebudayaan dan pengetahuan Islam.
Panji Masyarakat ternyata tak berumur lama. Setahun setelah lahir, majalah ini dilarang terbit oleh pemerintah. Pembreidelan dikeluarkan karena Panji Masyarakat memuat tulisan Dr. Muhammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”. Tulisan Hatta itu berisi gagasan-gagasan yang banyak berseberangan dengan gagasan Soekarno, presiden Indonesia saat itu, terutama dalam hal pengelolaan negara.
Setelah Panji Masyarakat tak terbit, Hamka memutuskan berkonsentrasi mengelola Masjid Agung al-Azhar di kawasan Kebayoran Baru. Aktivitasnya lebih banyak untuk kegiatan dakwah.
Pemojokan terhadap diri Hamka ternyata tak berhenti di situ. Muncul fitnah terhadap dirinya. Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karyanya dituduh merupakan plagiat dari roman karya Alphonse Karr, seorang sastrawan Prancis. Kemudian, pada 27 Januari 1964 tanpa alasan yang jelas ia ditangkap pihak keamanan negara. Hamka mendekam dalam penjara sampai Soekarno turun dari jabatan presiden.
Berbagai perlakuan terhadap dirinya tak membuat Hamka menjadi seorang pendendam. Ia tak membenci pribadi seseorang, terutama kepada Soekarno. Saat Soekarno wafat, ia datang ke rumah duka dan turut berbelasungkawa. Ia pun mengimami shalat jenazah presiden pertama Republik Indonesia itu. Banyak orang heran dengan sikap Hamka itu karena bukan rahasia lagi, Soekarno-lah yang memerintahkan penangkapan dirinya. “Saya sudah memaafkannya. Di balik segala kesalahannya sebagai manusia, Soekarno itu banyak jasanya,” katanya.

No comments:

Post a Comment