Siapakah
Pemimpin Itu?
Siapakah yang disebut pemimpin itu?
Pemimpin adalah orang yang diikuti orang lain. Orang lain mau mengikuti si
pemimpin karena punya alasan-alasan tertentu. Secara umum, alasan itu antara
lain karena si pemimpin itu dipandang lebih mampu, lebih tahu, lebih senior,
lebih berkuasa, lebih ahli, lebih bagus, lebih tinggi, dan seterusnya. Artinya,
seseorang akan ditunjuk, diangkat, atau dipersilahkan untuk menjadi pemimpin
karena dipandang punya nilai "plus".
Ketika seseorang tidak sedang menjadi
makhluk individual semata (baca: menjadi makhluk sosial juga), semua orang
butuh pemimpin. Seluruh isi rumah tangga butuh pemimpin, teamwork butuh
pemimpin, kelompok butuh pemimpin, dan seterusnya. Bahkan ada pengarahan yang
menyarankan seperti ini: "Jika engkau sedang menyelesaikan persoalan atau
mengemban tugas bersama orang lain (minimalnya satu orang), maka sepakatilah
untuk menunjuk seorang pemimpin di antara kamu."
Kenapa ini penting? Dalam prakteknya,
cara seperti inilah yang seringkali lebih efektif dan lebih efisien. Dengan
menyepakati siapa yang menjadi pemimpin berarti akan lebih jelas siapa yang
mengambil keputusan, siapa yang menjalankan keputusan, siapa yang
bertanggungjawab atas keputusan itu, dan seterusnya. Tapi, coba bayangkan kalau
pemimpinnya tidak ada? Yang sering terjadi adalah kericuhan, gontok-gontokan,
debat, konflik, saling ingin mengalahkan, dan seterusnya. Karena itu ada
semacam adagium bahwa lebih baik suatu kelompok atau masyarakat itu memiliki
pemimpin meskipun pemimpinnya itu bukanlah orang yang serba "lebih"
segala-galanya.
Dalam prakteknya, istilah pemimpin ini
diterapkan untuk beberapa pengertian. Ada
pengertian yang mengarah pada peranan. Pemimpin adalah orang yang memerankan
kepemimpinan (nilai-nilai leadership). Menurut pengertian ini, semua
orang (laki-laki atau perempuan) adalah pemimpin, minimalnya adalah pemimpin
bagi dirinya dan keluarganya. Ada
lagi pengertian yang mengarah pada jabatan atau posisi yang kemudian identik
dengan istilah-istilah antara lain: atasan, bos, kepala, nahkoda, manajer,
direktur, presiden, ketua, dan seterusnya. Ini semua adalah jabatan yang
terkait dengan fungsi-fungsi kepemimpinan. Ada lagi istilah pemimpin formal dan pemimpin
informal.
Bahkan dalam prakteknya, kita mengenal
istilah pemimpin dan pimpinan. Bedanya apa? Sebagian pendapat mengatakan,
pemimpin itu tidak butuh SK, tidak butuh partai, tidak mesti butuh bawahan.
Pemimpin di sini mengarah kepada kualitas peranan. Sedangkan pimpinan butuh SK,
butuh pengangkatan, butuh dukungan, butuh suara, dan seterusnya. Banyak
pimpinan yang tidak pemimpin dan banyak pemimpin yang tidak menduduki jabatan
pimpinan.
Kalau mengacu pada ajaran agama, temuan
sain, dan pengalaman sejumlah pemimpin, yang paling ditekankan adalah
kepemimpinan dalam pengertian yang pertama, yakni memerankan nilai-nilai pokok leadership.
Bentuknya apa nilai-nilai pokok itu? Bentuknya adalah mempelopori proses untuk
mewujudkan keinginan bersama (visi). Suatu kelompok yang tidak ada pemimpinnya
seringkali hanya berandai-andai, mengkhayal, ngobrol ngalor-ngidul,
takut, sungkan, dan lain-lain. Dengan adanya pemimpin, maka pemimpin inilah
yang akan menggerakkan atau mengaktivasikan energi orang banyak itu supaya
menjadi kenyataan.
Menurut ajaran leluhur kita, seorang
pemimpin itu haruslah memainkan tiga peranan inti. Kalau dia kebetulan di
depan, dia harus berperan untuk mengarahkan, menunjukkan jalan, atau menjadi
penutan. Kalau dia pas kebetulan di belakang, dia harus berperan mendorong
kemajuan, memunculkan inisiatif, atau memberikan tanggung jawab dan delegasi.
Kalau pas dia di tengah, dia harus menjadi pendamai, penyeimbang, penyambung
komunikasi yang terputus, berada di atas dan untuk semua golongan, dan
seterusnya.
Memainkan peranan ini jauh lebih
dibutuhkan ketimbang memangku jabatan. Bahkan sampai ada yang menyimpulkan
bahwa kepemimpinan itu sejatinya adalah tindakan, bukan jabatan. Lihat saja
misalnya orang yang sudah diberi jabatan untuk memimpin tetapi tidak sanggup
memainkan peranan sebagai pemimpin, apa yang terjadi? Pasti kepemimpinannya
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan mahkota jabatannya akan diambil
lagi oleh si pemberi jabatan (orang banyak atau Tuhan) dengan cara yang
beragam.
"Leadership is the way
of transforming vision into reality."
Berbagai Jurus Memimpin
Dalam berbagai literatur kepemimpinan
sering kita temukan istilah art dan science. Istilah ini
mengandung pengertian bahwa memimpin orang lain itu butuh pengetahuan tentang
teori-teori leadership (science) dan butuh seni dalam
mempraktekkan teori-teori itu. Karena itu, pas juga kalau disebut jurus. Jurus
ini bermacam-macam dan digunakan atas pertimbangan keadaan tertentu dan harus
bisa berubah. Sebagian dari sekian Jurus yang bisa kita jadikan acuan adalah di
bawah ini:
Jurus Kepemimpinan
|
Kompetensi Mental
Yang Dibutuhkan |
Iklim
|
Tujuan
|
Kapan Jurus Itu
Tepat Diterapkan |
Paksaan / Memaksa
|
Bisa menggerakkan, meng-inisiatif, dan
bisa mengontrol-diri
|
Strongy negative
|
Tanggapan yang cepat dan langsung (immediate
action)
|
Pada saat krisis atau keadaan mendesak
|
Menguasai orang lain (otoriter)
|
Punya kepercayaan-diri, empati,
kapasitas untuk mengubah orang lain
|
Most strongly positive
|
Memobilisasi orang lain supaya
mengikuti
|
Ketika perubahan baru diinginkan atau
butuh visi baru atau arahan baru
|
Afiliatif
(Menggabungkan)
|
Bisa menyatukan, manajemen
konflik, empati
|
Highly positive
|
Menciptakan keharmonisan
|
Ketika kerenggangan terjadi dalam tim
atau mencairkan ketegangan
|
Demokratik
|
Bisa mengkolaborasi, komunikasi dan
memimpin tim
|
Highly positive
|
Membangun komitmen bersama melalui
keterlibatan
|
Ketika butuh membangun kongsi,
kebersamaan, kesepakatan, atau untuk mendapatkan masukan
|
Merumuskan model (pacesetter)
|
Kesungguhan, bisa menggerakkan, punya
inisiatif
|
Highly negative
|
Melaksanakan tugas baru atau tugas
yang standarnya tinggi
|
Ketika dibutuhkan hasil yang cepat dan
bagus
|
Membina (coaching)
|
Bisa mengembangkan orang lain, empati,
penguasaan emosi dan pengetahuan-diri
|
Highly positive
|
Membangun kekuatan di masa depan
|
Ketika yang dibutuhkan adalah
perbaikan kinerja atau kualitas “SDM†untuk jangka panjang
|
*) Sumber: An EI-Based Theory of
Performance, Daniel Goleman, The Consortium for Research on Emotional Intelligence
in Organizations, 2004
Dengan kata lain, yang disebut jurus
dalam memimpin itu adalah tindakan tertentu yang kita ambil berdasarkan
kapasitas yang kita miliki, berdasarkan keadaan orang yang kita pimpin, dan
berdasarkan tujuan utama yang hendak kita wujudkan. Efektivitas dan efisiensi
kepemimpinan biasanya akan ditentukan oleh sejauhmana kita bisa menentukan
jurus yang sesuai dengan tiga hal itu.
Karena itu, dalam berbagai diskusi
tentang leadership, saya kerap mendengar pernyataan atau pendapat bahwa
tidak semua yang otoriter itu jelek. Otoriter terkadang dibutuhkan sejauh itu
digunakan sebagai jurus (the strategy) pada saat keadaan menuntut
perubahan yang cepat dan ketika orang-orang yang kita pimpin itu belum memiliki
kesadaran moral yang diakarkan pada nilai-nilai abstrak (kebenaran universal).
Lain soal kalau itu kita terapkan
sebagai bawaan (trait). Biasanya, jurus otoriter yang kita terapkan
sebagai bawaan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak bagus bagi pemimpin dan bagi
yang dipimpin. Otoriter yang mulus bisa menghasilkan kediktatoran. Otoriter
yang mulus bisa menghasilkan ketakutan terpendam yang suatu saat nanti akan
menghasilkan euforia (luapan kegembiraan yang berlebihan) yang
ekstrim.
Jadi intinya, semua jurus di atas
apabila diterapkan melebihi porsinya atau ekstrim atau berlebihan, biasanya
akan menimbulkan deviasi (penyimpangan) yang umumnya negatif. Model
kepemimpinan yang membina (coaching) itu baik, tetapi kalau keterlaluan,
deviasinya adalah mendekte. Mendelegasikan itu baik, tetapi kalau keterlaluan,
deviasinya adalah rentan kecolongan. Cerewet itu terkadang bagus, tetapi kalau
berlebihan, deviasinya adalah bikin orang lain tidak nyaman dan kita pusing
sendiri.
Syarat apa yang perlu kita penuhi supaya
kita tidak berlebihan menerapkan jurus di atas? Syaratnya sebetulnya sederhana
dan kita semua sudah tahu namun untuk menerapkannya butuh pembelajaran. Syarat
itu adalah menomerduakan keinginan-diri (subyektivitas pribadi, hawa nafsu,
egoisme, dll) dan menomersatukan nilai-nilai, dalil pengetahuan, dan petunjuk
pengalaman. Jadi, kalau yang kita tunjukkan itu diri kita, deviasi sangat
mungkin akan muncul. Tetapi jika yang kita tunjukkan itu adalah komitmen kita
pada nilai-nilai yang kita perjuangkan, deviasi itu bisa dikurangi atau diantisipasi.
Karena itu, dalam ajaran agama ada
istilah "marah karena Tuhan". Marah seperti ini dikatakan sebagai
tanda keimanan. Marah seperti ini bukan artinya kita mengatakan bahwa marah
kita gara-gara Tuhan. Kemarahan karena Tuhan adalah kemarahan yang tujuannya
adalah tindakan perbaikan, ditujukan kepada orang yang pas, tidak dilandasi
nafsu kebencian dan kita sadar kapan kemarahan itu dimulai dan kapan harus
diakhiri. Marah karena Tuhan adalah kemarahan yang didasari perjuangan
nilai-nilai, pengetahuan dan pengalaman.
Untuk seorang pemimpin, baik itu peranan
atau jabatan, marah karena Tuhan dengan pengertian yang sangat logis dan fair
itu menjadi sangat dibutuhkan. Bayangkan kalau ada seorang pemimpin yang
marahnya karena nafsu (amarah), apa yang terjadi? Tentu bisa merugikan dirinya
sendiri dan orang-orag yang dipimpinnya.
"Amarah dan tidak toleran adalah
musuh bagi pemahaman yang benar."
(Mohandas Karamchand Gandhi)
Syarat-syarat Memerankan Kepemimpinan
Kalau melihat hukum Tuhannya, kemampuan
kita memerankan nilai-nilai kepemimpinan merupakan prinsip dasar kepemimpinan
itu. Dikatakan prinsip dasar berarti tidak bisa disiasati atau tidak bisa
ditinggalkan. Apa saja prinsip dasar itu? Berikut ini adalah prinsip dasar yang
perlu kita jalankan:
Pertama, milikilah nilai-nilai yang kita perjuangkan menurut keadaan
kita. Ada banyak kasus yang kerap terjadi dalam kepemimpinan rumah tangga.
Kasus itu muncul karena lemahnya peranan kepemimpinan. Misalnya saja ada
seorang menantu (suami / istri) yang punya hubungan kurang harmonis dengan
mertua. Sepintas kita sepertinya dihadapkan pada dilema yang sulit. Kalau kita
memihak ke pasangan, kita akan dicap sebagai orang yang tidak berbakti sama
orangtua. Tapi kalau kita memihak ke orangtua, kita akan dicap sebagai orang
yang mengorbankan pernikahan demi orangtua. Jadi bagaimana ini?
Jika kita hanya berpikir untuk memihak
manusia atau orangnya (mertua, suami-istri, orangtua, dst), maka dilema akan
selalu muncul dan masalah serupa akan selalu terulang, pun juga tidak ada
solusi yang akan mengangkat kita ke tingkat yang lebih bagus. Tetapi, jika kita
berpihak pada nilai-nilai (apa yang baik, apa yang bermanfaat, dan apa yang
benar menurut ukuran keluarga kita), maka lambat laun dilema seperti itu akan
hilang. Suasana hubungan di keluarga kita pun akan semakin bagus dan pengaruh
kepemimpinan kita pun semakin terasa.
Jadi, seorang pemimpin itu dituntut
untuk memiliki "pegangan" berupa nilai-nilai yang ia perjuangkan
berdasarkan keadaannya. Dengan berpegang teguh pada pegangan itu maka muncullah
kharisma. Tentu saja berdasarkan kadar kita. Dengan berpegang teguh pada
nilai-nilai itu, maka apapun yang akan kita lakukan, misalnya menegur,
mengingatkan atau mendamaikan, itu semua akan di-drive oleh nilai-nilai
itu atau "karena Tuhan".
Kedua, menjadi role model atas nilai-nilai yang kita
perjuangkan. Seringkali manusia itu memiliki jarak antara apa yang diomongkan
dengan dirinya, antara apa yang diopinikan dengan dirinya, antara apa yang
ditulis dengan dirinya, antara apa yang pelajari dengan dirinya. Ini semua
adalah contoh tidak adanya role model (Integrity).
Seorang pemimpin dituntut untuk menjadi role
model atas apa yang ia perjuangkan. Mengambil contoh kasus keluarga di
atas, berarti kalau kita berpegang teguh pada nilai-nilai kehormonisan atau
kesetaraan, maka kita pun harus menjadi contoh tentang hal ini atau kita sudah
menjalankan nilai-nilai itu. Kalau kita berpegang teguh pada kesederhanaan,
maka kita pun harus menjalankan kesederhanaan. Kalau kita berpegang teguh pada
kasih sayang, maka kita pun harus menjalankan kasih sayang.
Jangan sampai nilai-nilai kebenaran itu
kita ucapkan tetapi itu semua kita alamatkan kepada orang lain semata.
"Nilai-nilai itu for you, not for me." Jika ini yang
terjadi, kepemimpinan kita akan lemah. Kepemimpinan yang lemah kurang bisa
memberikan solusi dan kurang bisa menekan masalah.
Ketiga, mengembangkan kapasitas personal untuk menjadi yang lebih
baik. Kapasitas personal yang perlu kita kembangkan itu antara lain adalah
kapasitas intelektual (pengetahuan, pengalaman, keahlian, cara berpikir, dst),
kapasitas emosional (memperlakukan orang, kontrol-diri, berkomunikasi, dst),
kapasitas spiritual (ketaatan, kejelasan visi hidup, dorongan berubah ke arah
yang lebih bagus, dst).
Kenapa pengembangan kapasitas personal
ini menjadi prinsip? Ini terkait dengan orang-orang yang kita pimpin. Pemimpin
yang disiplinnya lemah tidak bisa menggerakkan orang-orang malas. Pemimpin yang
emosinya masih kacau kurang bisa mendamaikan orang-orang yang sedang bertengkar.
Pemimpin yang masih punya keberpihakan besar pada manusia tidak bisa mengajak
orang lain untuk berpihak pada nilai. Pemimpin yang tidak memiliki komitmen
untuk belajar tidak bisa menggerakkan orang lain untuk belajar. Intinya,
pengembangan kapasitas personal itu haruslah selalu kita lakukan. Tentu saja
berdasarkan keadaan kita dan orang-orang yang kita pimpin. Tanpa ini,
kepemimpinan kita akan lumpuh.
Keempat, dahulukan pengaruh sebelum power. Pengaruh itu
biasanya dihasilkan dari kualitas "SDM" kita. Pengaruh itu dihasilkan
dari komitmen kita dalam menjalankan prinsip 1, 2, dan 3. Seringkali pengaruh
itu tidak bisa diciptakan dengan rekayasa, tetapi tercipta sendiri karena
proses. Sedangkan power itu adalah kekuatan yang biasanya diciptakan oleh
sistem, kekuatan formal, atau hasil dari apa yang kita lakukan (misalnya power,
jabatan, kekayaan, keahlian, dst).
Kenapa kita perlu mendahulukan
penggunaan pengaruh (influence) sebelum power? Biasanya, ini lebih
efektif, efisien, dan lebih "mendekatkan" atau lebih "menyadarkan".
Misalnya saja kita ingin memotivasi seseorang agar lebih memperbaiki
kinerjanya. Sebelum kita menggunakan jabatan, sangat disarankan kita
menggunakan pendekatan personal. Tetapi jika tidak mempan juga, ya apa boleh
buat?
Kelima, mengetahui kapan mendengarkan, kapan berbicara, dan kapan
mengambil keputusan. Ini sangat penting untuk mengatasi dinamika keadaan yang
terus berubah. Kalau kita banyak bicara padahal yang dituntut adalah
mendengarkan, ini juga kurang. Kalau kita lebih banyak mendengarkan padahal
yang dituntut adalah berbicara, ini juga kurang. Kalau kita hanya bicara dan
mendengarkan padahal yang dituntut adalah mengambil keputusan, ini juga kurang.
Intinya, sebelum memimpin orang lain, entah peranan atau jabatan, syarat yang
harus kita penuhi adalah memimpin diri sendiri. Tidak mungkin kita bisa
menjalankan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan itu tanpa kemampuan dalam
memimpin diri sendiri.
"Tidak ada orang yang bisa
memimpin orang lain
sebelum dapat memimpin dirinya."
(William Penn)
sebelum dapat memimpin dirinya."
(William Penn)
No comments:
Post a Comment