Amerika

Sunday, October 13, 2013

APA YANG MEMBUAT KEMALASAN ITU ABADI?






Menurut logika yang normal, tentu tidak ada orang yang ingin malas. Buktinya, tidak ada orang yang merasa bahagia dengan kemalasannya. Jika begitu, berarti kira-kira kemalasan itu muncul karena ada sesuatu. Apa sesuatu itu? Tentu ini banyak. Berdasarkan praktek dan teori, ada beberapa hal yang bisa kita jadikan petunjuk atau acuan. Ini antara lain:



Pertama, tidak memiliki sasaran hidup yang jelas. Sasaran ini bisa berbentuk: apa yang ingin kita lakukan, apa yang ingin kita raih, apa yang ingin kita miliki. Sasaran ini ada yang bersifat jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang. Ada yang disebut visi, tujuan (goal), atau juga target.



Kenapa sasaran itu terkait? Oh tentu. Kalau kita sudah tahu sasaran yang kita inginkan, maka logikanya kita akan terdorong untuk mencapainya. Kejelasan sasaran terkait dengan kekuatan motivasi dan tekad seseorang. Menurut Anthony Robbin, di dunia ini sebetulnya tidak ada orang yang malas. Orang menjadi malas karena tidak memiliki tujuan yang jelas.



Penjelasan lain mengatakan bahwa orang yang tidak memiliki sasaran atau tujuan hidup yang benar-benar ingin diraih sangat berpotensi terkena apa yang disebut kemandekan batin. Batin yang mandek gampang dihinggapi berbagai penyakit dan kotoran, salah satunya adalah kemalasan. Jadi, kemalasan terkait dengan "developmental process".



Kedua, filsafat hidup yang negatif. Ini misalnya saja: "Daripada sudah bekerja keras tetapi tidak kaya-kaya, mendingan kerja asal-asalan aja", "Ngapain sekolah rajin, toh sudah banyak sarjana yang nganggur", "Boro-boro cari rizki yang halal, yang haram aja susahnya minta ampun", dan lain-lain dan seterusnya.



Kenapa itu semua disebut negatif? Secara arah (direction and orientation), kesimpulan demikian kerap menggeret kita pada pola hidup yang malas. Jadi, yang perlu kita waspadai adalah arahnya, bukan semata benar dan salahnya secara konten. Lebih baik kita berpikir perlu belajar yang lebih giat lagi supaya tidak menjadi sarjana yang nganggur. Lebih baik berpikir perlu bekerja lebih keras lagi dan lebih cerdas lagi supaya kaya. Meski ini tidak bisa memberikan jaminan dalam waktu yang sekaligus, tetapi arahnya positif, dinamikanya positif dan energinya positif. Kita perlu sadar bahwa terkadang ada banyak ucapan yang benar tetapi tidak bermanfaat (positif).



Ketiga, terlalu banyak dan terlalu lama membiarkan pikiran atau perasaan negatif. Semua orang pada dasarnya pernah memunculkan pikiran negatif terhadap diri sendiri, orang lain atau keadaan. Yang membedakan terkadang adalah kadarnya, frekuensinya dan kecepatannya dalam membersihkan diri. Kenapa pikiran dan perasaan berpengaruh? Ini sudah jelas dapat kita rasakan langsung.



Kalau kita membiarkan penilain negatif terhadap diri sendiri yang terlalu lama atau terlalu banyak, maka yang muncul adalah kesimpulan akumulatif yang negatif. Ini misalnya: saya tidak mampu, saya tidak bisa, saya selalu minder, saya ragu-ragu, saya malas-malasan, saya tidak bahagia dengan diri saya, dan seterusnya. Kesimpulan demikian memang tidak membuat kita mati, tetapi, seperti yang kita alami, kesimpulan demikian sangat menghalangi munculnya energi psoitif.



Karena itu, baik ajaran agama atau ilmu pengetahuan punya nasehat yang sama. Dalam keadaan apapun atau dalam posisi apapun kita dianjurkan untuk memilih pikiran dan mentalitas yang berorientasi syukur. Syukur artinya kemampuan seseorang dalam mengaoptimalkan penggunaan resource yang sudah ada untuk meraih prestasi dengan cara-cara positif. Berpikirlah untuk menggunakan potensi seoptimal mungkin. Berpikirlah untuk menggunakan fasilitas seoptimal mungkin.



Karena kita selalu rentan terkena pikiran negatif, baik itu kita ciptakan sendiri atau kiriman dari orang lain, maka idealnya, membersihkan pikiran dan perasaan itu perlu kita lakukan seperti kita mandi yang tidak pernah cukup sekali. Tidak cukup membaca buku sekali, tidak cukup mendengarkan nasehat inspiratif sekali, tidak cukup membaca artikel sekali dan tidak cukup memotivasi diri sekali. Itu kita butuhkan sepanjang hidup sejauh kita merasakan adanya kotoran yang mengganggu.



Keempat, tidak mau memilih yang positif. Untuk orang dewasa (baca: bukan anak-anak) ini adalah kunci. Gagal bercinta, gagal usaha, gagal berkarir, dan lain-lain, memang itu semua bisa memicu kemalasan. Tetapi, seperti yang sudah kita singgung, kemasalan di situ sifatnya hanya sementara. Yang kerap membuatnya abadi adalah penolakan untuk segera bangkit. Jika kita menolak membangkitkan-diri, semua kemalasan sifatnya abadi. Jika kita tetap memilih menjadi pemalas, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa membuat kita menjadi tidak malas.



Kalau mau pakai pendapat Bandura (www.mhnet.org,2002), berbagai prilaku immoral dan kurang berarti itu (termasuk kemalasan), lebih terkait dengan mekanisme mental ketimbang dengan kesalahan sistem nilai yang dianut seseorang. Untuk orang dewasa, pasti semua sudah tahu kalau kemalasan itu bukan sesuatu yang positif. Meski sudah tahu semua tetapi pengetahuan ini tidak otomatis menggerakkan prilaku seseorang supaya tidak malas. Ini bukti bahwa kemalasan itu lebih terkait pada mekanisme mental atau mentalitas seseorang. Tindakan kita, kata Dietrich Bonhoeffer, lebih banyak digerakkan oleh kesadaran untuk bertanggung jawab. Ini juga pas untuk orang dewasa.



Kalau kita sadar tanggung jawab kita sebagai pelajar / mahasiswa, rasanya tidak mungkin kita bisa menjadi pelajar yang malas. Kalau kita sadar tanggung jawab kita sebagai karyawan, rasanya tidak mungkin kita bisa menjadi karyawan yang malas. Dan seterusnya dan seterusnya. Kesadaran inilah yang memunculkan motivasi dan komitmen intrinsik (inisiatif dan tekad dari dalam).



Kelima, kurang belajar menggunakan ledakan emosi. Marah, tidak puas, malu, takut, ingin dipuji, dan seterusnya itu adalah termasuk bentuk ledakan emosi. Ini bisa kita gunakan untuk mengusir kemalasan dan bisa pula kita gunakan untuk menambah kemalasan. Takut akan dimarahi orangtua kalau nilai kita jeblok dapat kita gunakan untuk memacu diri dalam belajar. Malu dikatakan orang nganggur bisa kita gunakan untuk memperbanyak aktivitas. Tidak puas atas nasib kita pada hari ini dapat kita gunakan untuk mendorong perubahan.



Jadi, meski ada ledakan emosi negatif dan positif tetapi penggunaannya diserahkan kepada kita. Kalau digunakan untuk hal-hal positif, jadinya positif. Tetapi kalau digunakan untuk hal-hal negatif, ya jadinya bertambah negatif. Untuk orang yang belum sanggup membangkitkan gairah dari dalam dirinya atau orang yang belum berhasil membangun pondasi personal yang kuat, tehnik ini lebih sering berhasilnya. Cuma memang durasinya sementara dan gampang luntur di samping juga bisa berpotensi menimbulkan penyimpangan (motivasi minus atau negatif). Karena itu tetap dibutuhkan transformasi ke dalam.

No comments:

Post a Comment