Hal yang
paling saya nikmati adalah saat berkumpul dengan tetangga setiap sabtu sehabis
shalat magrib. Kebetulan mesjid tepat di depan rumah. Alhasil, halaman
depan-pun kerap menjadi tempat berkumpul bapak-bapak menunggu adzan isya
sembari bergosip.
Berbeda
dengan gosip para wanita yang di dominasi isu selebritis, perselingkuhan,
arisan, sampai harga sembako yang semakin mahal. Gosip kaum lelaki tidak jauh
seputar olah raga, berita, politik, keadaan negara, sampai pada pembahasan
tentang pergantian pengurus RT dan agenda acara ke-RT-an. Tidak jarang gosip
berkembang menjadi rapat warga dadakan.
Entah
bagaimana awalnya, saat obrolan sampai pada tema mahalnya pendidikan, seorang
tetangga melemparkan pernyataan menarik.
“Ah..
tak perlulah itu sekolah tinggi-tinggi. Menghabiskan biaya saja. Iya kalau
setelah lulus bisa dapat kerja. Kalau tidak? Malah
bikin malu”, kata seorang tetangga dengan logat Medan
yang kental sembil mengibaskan tangan di depan wajah. “Sekolah tinggi-tinggi
juga UUD. Ujung-ujungnya duit. Lulus, melamar sana melamar sini
mengobral ijazah, jadi buruh, kuli, akhirnya kerja jugalah sama orang”,
tambahnya.
“Sekolah itu sebagai modal Bang. Dengan pendidikan kita bisa mendapat
pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Hitung-hitung berinvestasi. Coba
hitung. Kerja selama 5 tahun dengan ijazah SMA penghasilan mentok di 2 jutaan.
Coba bandingkan bila melanjutkan kuliah. 5 tahun selesai. Begitu masuk kerja
penghasilan langsung sama dengan yang 5 tahun kerja. Bahkan bisa lebih. Belum
lagi jabatan yang lebih tinggi dan kemungkinan kenaikan gaji yang lebih besar.
Hitung-hitung bersusah-sudah dahulu, bersenang-senang kemudian. Tak apalah
berkorban sedikit waktu dan uang. Kalau hasil akhirnya lebih menguntungkan.”,
jawab saya berusaha menjelaskan keuntungan melanjutkan kuliah. Atau lebih
tepatnya, sebagai bentuk usaha membela diri. He..he..
“Begini ni.. seperti ini nih isi otak anak muda zaman sekarang. Pantas
saja kalau banyak sarjana pengangguran. Dalam otaknya yang namanya kerja itu
hanya kerja di perusahaan. Jadi buruh yang menerima upah bulanan. Tak heran
pula kalau begitu selesai kuliah para sarjana sibuk mencari info lowongan di
koran, bursa kerja, internet. Berlomba-lomba mengirimkan lamaran sebanyak
mungkin. Sementara jumlah lowongan tidak sebanding dengan jumlah lulusan baru.
Pangangguran-pun membludak. Karena yang pikirnya kerja itu hanya kerja sama
orang. Jadi kacung orang lain”, sambar tetangga medan saya itu. Bapak-bapak
yang lain senyum-senyum sambil memperhatikan saya yang bingung berkata apa.
Asem tenan..
“Maka tak heranlah aku kalau banyak orang pintar yang justru bekerja
pada orang bodoh. Coba lihat itu bos microsoft, Bill gates. Dia itu orang
bodoh. Tidak tamat kuliah. Tapi banyak orang pintar yang bekerja sama dia. Tak
usah jauh-jauh lah. Pemilik restoran yang di dekat kecamatan itu. Dia itu tidak
pernah kuliah. Tapi salah seorang pekerjanya itu sarjana ekonomi. Orang pintar
bekerja untuk orang bodoh”. Pintar juga tetangga medan saya ini. Dari mana
juga dia tau Bill gates.., Microsoft.. Sial. Pikir saya.
“Ahh.. jangan-jangan bos kau. Pemilik perusahaan tempat kau bekerja
sekarang, dia juga tidak pernah kuliah. Kasian benar kau Yu, kerja jadi
kuli-nya orang bodoh. Ha..ha..”. Tawanya yang langsung diikuti oleh tawa
bapak-bapak yang lain.
Adzan isya berkumandang. “Selamat..”, pikir saya. Langsung saya
masuk ke dalam mesjid diikuti para tetangga yang masih tertawa-tawa.
Setelah shalat isya, segera saya masuk ke dalam rumah menghindar
pembiacaraan lanjutan. Tapi tetap saja obrolan tadi masih terus terpikirkan.
Betul juga. Selama ini banyak pengangguran karena definisi kerja hanya
terbatas pada kerja di perusahaan. Kerja di instansi formal. Kerja sebagai
buruh dengan upah bulanan. Padahal jika saja pikiran lebih terbuka. Lebih luas.
Banyak yang bisa dilakukan oleh para pengangguran. Membuat usaha.
Wiraswasta. Tidak tergantung pada lowongan pekerjaan.
Saya teringat pada tukang buah yang mengontrak di rumah. Dia tamatan SMA.
Awalnya berjualan buah keliling dengan gerobak. Lalu menyewa kios di pinggir
jalan raya tepat di depan sebuah pabrik tekstil. Sekarang dia sudah mampu
kredit mobil pick up untuk membantu berjualan.
Mungkin beberapa tahun lagi dia mampu membeli dan memperbesar kios buahnya.
Membuka cabang di tempat lain. Dan jika kiosnya semakin besar dan banyak. Perlu
pembukuan dan administrasi yang tidak sederhana, dia mempekerjakan seorang
sarjana untuk membantunya. Orang ‘pintar’ bekerja untuk orang ‘bodoh’. Panas
kepala saya.
No comments:
Post a Comment