Amerika

Tuesday, October 8, 2013

Orang 'pintar' bekerja untuk orang 'bodoh'



 


Hal yang paling saya nikmati adalah saat berkumpul dengan tetangga setiap sabtu sehabis shalat magrib. Kebetulan mesjid tepat di depan rumah. Alhasil, halaman depan-pun kerap menjadi tempat berkumpul bapak-bapak menunggu adzan isya sembari bergosip.

Berbeda dengan gosip para wanita yang di dominasi isu selebritis, perselingkuhan, arisan, sampai harga sembako yang semakin mahal. Gosip kaum lelaki tidak jauh seputar olah raga, berita, politik, keadaan negara, sampai pada pembahasan tentang pergantian pengurus RT dan agenda acara ke-RT-an. Tidak jarang gosip berkembang menjadi rapat warga dadakan.

Entah bagaimana awalnya, saat obrolan sampai pada tema mahalnya pendidikan, seorang tetangga melemparkan pernyataan menarik.
Ah.. tak perlulah itu sekolah tinggi-tinggi. Menghabiskan biaya saja. Iya kalau setelah lulus bisa dapat kerja. Kalau tidak? Malah bikin malu”, kata seorang tetangga dengan logat Medan yang kental sembil mengibaskan tangan di depan wajah. “Sekolah tinggi-tinggi juga UUD. Ujung-ujungnya duit. Lulus, melamar sana melamar sini mengobral ijazah, jadi buruh, kuli, akhirnya kerja jugalah sama orang”, tambahnya.
Sekolah itu sebagai modal Bang. Dengan pendidikan kita bisa mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Hitung-hitung berinvestasi. Coba hitung. Kerja selama 5 tahun dengan ijazah SMA penghasilan mentok di 2 jutaan. Coba bandingkan bila melanjutkan kuliah. 5 tahun selesai. Begitu masuk kerja penghasilan langsung sama dengan yang 5 tahun kerja. Bahkan bisa lebih. Belum lagi jabatan yang lebih tinggi dan kemungkinan kenaikan gaji yang lebih besar. Hitung-hitung bersusah-sudah dahulu, bersenang-senang kemudian. Tak apalah berkorban sedikit waktu dan uang. Kalau hasil akhirnya lebih menguntungkan.”, jawab saya berusaha menjelaskan keuntungan melanjutkan kuliah. Atau lebih tepatnya, sebagai bentuk usaha membela diri. He..he..
Begini ni.. seperti ini nih isi otak anak muda zaman sekarang. Pantas saja kalau banyak sarjana pengangguran. Dalam otaknya yang namanya kerja itu hanya kerja di perusahaan. Jadi buruh yang menerima upah bulanan. Tak heran pula kalau begitu selesai kuliah para sarjana sibuk mencari info lowongan di koran, bursa kerja, internet. Berlomba-lomba mengirimkan lamaran sebanyak mungkin. Sementara jumlah lowongan tidak sebanding dengan jumlah lulusan baru. Pangangguran-pun membludak. Karena yang pikirnya kerja itu hanya kerja sama orang. Jadi kacung orang lain”, sambar tetangga medan saya itu. Bapak-bapak yang lain senyum-senyum sambil memperhatikan saya yang bingung berkata apa. Asem tenan..
Maka tak heranlah aku kalau banyak orang pintar yang justru bekerja pada orang bodoh. Coba lihat itu bos microsoft, Bill gates. Dia itu orang bodoh. Tidak tamat kuliah. Tapi banyak orang pintar yang bekerja sama dia. Tak usah jauh-jauh lah. Pemilik restoran yang di dekat kecamatan itu. Dia itu tidak pernah kuliah. Tapi salah seorang pekerjanya itu sarjana ekonomi. Orang pintar bekerja untuk orang bodoh”. Pintar juga tetangga medan saya ini. Dari mana juga dia tau Bill gates.., Microsoft.. Sial. Pikir saya.
Ahh.. jangan-jangan bos kau. Pemilik perusahaan tempat kau bekerja sekarang, dia juga tidak pernah kuliah. Kasian benar kau Yu, kerja jadi kuli-nya orang bodoh. Ha..ha..”. Tawanya yang langsung diikuti oleh tawa bapak-bapak yang lain.
Adzan isya berkumandang. “Selamat..”, pikir saya. Langsung saya masuk ke dalam mesjid diikuti para tetangga yang masih tertawa-tawa.
Setelah shalat isya, segera saya masuk ke dalam rumah menghindar pembiacaraan lanjutan. Tapi tetap saja obrolan tadi masih terus terpikirkan.
Betul juga. Selama ini banyak pengangguran karena definisi kerja hanya terbatas pada kerja di perusahaan. Kerja di instansi formal. Kerja sebagai buruh dengan upah bulanan. Padahal jika saja pikiran lebih terbuka. Lebih luas. Banyak yang bisa dilakukan oleh para pengangguran. Membuat usaha. Wiraswasta. Tidak tergantung pada lowongan pekerjaan.
Saya teringat pada tukang buah yang mengontrak di rumah. Dia tamatan SMA. Awalnya berjualan buah keliling dengan gerobak. Lalu menyewa kios di pinggir jalan raya tepat di depan sebuah pabrik tekstil. Sekarang dia sudah mampu kredit mobil pick up untuk membantu berjualan.
Mungkin beberapa tahun lagi dia mampu membeli dan memperbesar kios buahnya. Membuka cabang di tempat lain. Dan jika kiosnya semakin besar dan banyak. Perlu pembukuan dan administrasi yang tidak sederhana, dia mempekerjakan seorang sarjana untuk membantunya. Orang ‘pintar’ bekerja untuk orang ‘bodoh’. Panas kepala saya.

No comments:

Post a Comment