Amerika

Sunday, September 15, 2013

Pentingnya Jujur pada Diri Sendiri





Respon dari kritik atau umpan balik negatif berbentuk emosi. Rasa takut, khawatir, dan was-was sering keluar dalam bentuk “self-talk”, seperti: “Kok tega-teganya dia bilang begitu”,”Wah, jangan-jangan saya bakal di mutasi”, “Lebih baik diam saja, apapun yang dia katakan. Nanti juga akan diam sendiri. ”, adalah reaksi yang sangat manusiawi. Perasaan semacam ini dihayati oleh siapa saja, bahkan presiden sekalipun.

Yang membedakan satu individu dengan yang lain adalah kemampuan mendengar dan berdialog dengan dirinya sendiri dan bersikap jujur pada diri sendiri. Paling tidak seseorang perlu jujur dan mampu mengenali perasaannya.
Identifikasi perasaan saat menerima feedback ini adalah langkah pertama dan utama, yang diperlukan agar seseorang bisa menyusun kekuatan mentalnya dan siap menghadapi “kabar buruk”, bila ada. Bila seseorang tidak tahu apa yang ia rasakan, dan hanya merasakan kekhawatiran yang tidak jelas, dia bisa menyatakannya pada sahabat, pasangan atau ajudannya, yang mau bersikap jujur padanya, sehingga bisa terbangun dialog, paling tidak untuk menyatakan kekhawatirannya.

Pilih Kegiatan Bercermin Anda

Banyak orang merasa tidak nyaman dengan ”feedback” karena asumsinya bahwa kita hanya bisa responsif terhadap ”feedback”. Padahal cara kita mengevaluasi diri bisa kita tentukan sendiri, tergantung dari bagaimana kita bisa me-manage “rasa” senang dan kecewa kita. Ada orang yang bercermin 20 kali sehari, tetapi ada pula yang berdandan secara intensif di pagi hari, menggunakan cermin pembesar dan tidak melakukannya lagi sepanjang hari. Ini semua tergantung “feeling” dari masing-masing individu dan bagaimana ia menyikapi penataan dirinya.

Ada orang yang mendorong dirinya untuk membaca evaluasi dan kemudian menghadiahi dirinya sendiri bila evaluasi bagus. Ada orang yang memilih untuk bersikap proaktif mendatangi pemberi feedback, tetapi ada pula yang memilih bersikap responsif dan menunggu. Apapun gayanya, sikap adaptif terhadap “feedback” adalah sikap yang positif.

Kakak saya yang berusia 77 tahun sering mengatakan: “Saya harus berubah terus agar tetap bisa bekerja”. Seorang wirausahawan sukses mengatakan: ”Feedback itu sangat berharga. Daripada membeli data dari perusahaan riset, saya lebih baik ber-”kuping panas” mendengar keluhan pelanggan”.

Jadi, Hal kedua dalam ‘bercermin’ adalah menguasai situasi “feedback” dan meyakini bahwa feedback tersebut kita perlukan untuk kemajuan kita. Situasi “feedback” ini hanya bisa bermanfaat, bila di-desain, dan diimplementasikan secara teratur , penuh kesadaran , kebesaran hati dan keseriusan

Menyusun Langkah

Teman saya, yang dengan santun sekali menerima feedback, dan secara spontan menyetujui saran saran perbaikan yang diberikan padanya, ternyata sering tidak menindaklanjutinya dengan perbaikan. Artinya, feedback tidak menjadi pemicu perbaikan baginya. “Sama juga bohong” kata anak muda, sama saja dengan tidak menerima feedback sama sekali. Hal ketiga, dalam menyikapi feedback adalah disusunnya langkah perbaikan dan nyatanya tindakan perbaikan. Hal ini tentunya akan membawa perubahaan nyata yang akan terlihat pada evaluasi selanjutnya.

Organisasi yang terdiri dari individu individu yang masing masing membiasakan diri dengan “feedback” dapat dengan mudah melakukan “alignment” misi pribadi, tim dan organisasi. Selain itu juga tidak usah susah payah mengumandangkan gerakan perubahan, karena setiap individu berinisiatif untuk berkembang dan berubah sendiri.
Hanya dengan cara ini, organisasi akan berkembang menjadi tempat yang diwarnai kejujuran dan keterbukaan, dan otomatis membawa suasana yang lebih mesra dan hangat.

No comments:

Post a Comment