Respon dari kritik atau umpan balik negatif berbentuk emosi. Rasa takut, khawatir, dan was-was sering keluar dalam bentuk “self-talk”, seperti: “Kok tega-teganya dia bilang begitu”,”Wah, jangan-jangan saya bakal di mutasi”, “Lebih baik diam saja, apapun yang dia katakan. Nanti juga akan diam sendiri. ”, adalah reaksi yang sangat manusiawi. Perasaan semacam ini dihayati oleh siapa saja, bahkan presiden sekalipun.
Yang membedakan satu individu dengan yang lain adalah kemampuan mendengar dan berdialog dengan dirinya sendiri dan bersikap jujur pada diri sendiri. Paling tidak seseorang perlu jujur dan mampu mengenali perasaannya.
Identifikasi perasaan saat menerima feedback ini adalah langkah pertama dan utama, yang diperlukan agar seseorang bisa menyusun kekuatan mentalnya dan siap menghadapi “kabar buruk”, bila ada. Bila seseorang tidak tahu apa yang ia rasakan, dan hanya merasakan kekhawatiran yang tidak jelas, dia bisa menyatakannya pada sahabat, pasangan atau ajudannya, yang mau bersikap jujur padanya, sehingga bisa terbangun dialog, paling tidak untuk menyatakan kekhawatirannya.
Pilih
Kegiatan Bercermin Anda
Banyak orang merasa tidak nyaman dengan ”feedback” karena asumsinya bahwa kita hanya bisa responsif terhadap ”feedback”. Padahal cara kita mengevaluasi diri bisa kita tentukan sendiri, tergantung dari bagaimana kita bisa me-manage “rasa” senang dan kecewa kita. Ada orang yang bercermin 20 kali sehari, tetapi ada pula yang berdandan secara intensif di pagi hari, menggunakan cermin pembesar dan tidak melakukannya lagi sepanjang hari. Ini semua tergantung “feeling” dari masing-masing individu dan bagaimana ia menyikapi penataan dirinya.
Ada orang yang mendorong dirinya untuk membaca evaluasi dan kemudian menghadiahi dirinya sendiri bila evaluasi bagus. Ada orang yang memilih untuk bersikap proaktif mendatangi pemberi feedback, tetapi ada pula yang memilih bersikap responsif dan menunggu. Apapun gayanya, sikap adaptif terhadap “feedback” adalah sikap yang positif.
Kakak saya yang berusia 77 tahun sering mengatakan: “Saya harus berubah terus agar tetap bisa bekerja”. Seorang wirausahawan sukses mengatakan: ”Feedback itu sangat berharga. Daripada membeli data dari perusahaan riset, saya lebih baik ber-”kuping panas” mendengar keluhan pelanggan”.
Jadi, Hal kedua dalam ‘bercermin’ adalah menguasai situasi “feedback” dan meyakini bahwa feedback tersebut kita perlukan untuk kemajuan kita. Situasi “feedback” ini hanya bisa bermanfaat, bila di-desain, dan diimplementasikan secara teratur , penuh kesadaran , kebesaran hati dan keseriusan
Menyusun
Langkah
Teman saya, yang dengan santun sekali menerima feedback, dan secara spontan menyetujui saran saran perbaikan yang diberikan padanya, ternyata sering tidak menindaklanjutinya dengan perbaikan. Artinya, feedback tidak menjadi pemicu perbaikan baginya. “Sama juga bohong” kata anak muda, sama saja dengan tidak menerima feedback sama sekali. Hal ketiga, dalam menyikapi feedback adalah disusunnya langkah perbaikan dan nyatanya tindakan perbaikan. Hal ini tentunya akan membawa perubahaan nyata yang akan terlihat pada evaluasi selanjutnya.
Organisasi yang terdiri dari individu individu yang masing masing membiasakan diri dengan “feedback” dapat dengan mudah melakukan “alignment” misi pribadi, tim dan organisasi. Selain itu juga tidak usah susah payah mengumandangkan gerakan perubahan, karena setiap individu berinisiatif untuk berkembang dan berubah sendiri.
Hanya dengan cara ini, organisasi akan berkembang menjadi tempat yang diwarnai kejujuran dan keterbukaan, dan otomatis membawa suasana yang lebih mesra dan hangat.
(Ditayangkan di KOMPAS, 26 Januari 2008)
Memaafkan Diri Sendiri
Terkadang stress bukan datang dari faktor luar, tapi dari dalam diri sendiri. Seperti ketika kita melakukan sebuah kesalahan dan merasa bersalah terus karenanya. Rasa bersalah yang terus-menerus kita rasakan akan membuat diri kita selalu dihinggapi ketakutan.
Takut berbuat kesalahan lagi dan kehilangan kepercayaan diri. Ketidakmampuan kita untuk memaafkan diri sendiri bisa menjadikan kita terhenti. Kita yang akan terus terbeban karena perasaan bersalah itu membuat kita sendiri tidak bisa maju dan melanjutkan hidup. Yang jelas, walaupun kita merasa bersalah, kita tidak perlu terus-menerus menghukum diri sendiri. Dr. Phil McGraw, psikolog Amerika mengatakan bahwa kita punya pilihan:
* Kita bisa menjadi orang yang menyedihkan karena memikirkan rasa bersalah itu terus-menerus,
* atau kita mengijinkan diri sendiri untuk sembuh dan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik.
Ada beberapa cara yang bisa diikuti untuk berdamai dengan diri sendiri:
Langkah Pertama: Bukalah Hati Dan Pikiran
Ketika sedang dihadapkan pada suatu pengalaman pahit, entah karena diri sendiri atau orang lain, pikiran dan hati kita akan tertutup untuk menghindari akan disakiti lagi.
Cobalah buka diri kita kembali dengan melihat apa yang sebenarnya terjadi dan yang kita alami. Katakan pada diri sendiri, "Saya bersedia mempertimbangkan bahwa ada jalan lain untuk menghadapi masalah saya daripada menutup hati dan diri saya."
Langkah Kedua: Berikan Pilihan Kepada Diri Sendiri Untuk Kembali Mencintai
Rasa bersalah adalah istilah yang kita berikan untuk menampung semua yang jelek dan negatif dari yang pernah kita lakukan. Satu cara yang cukup ampuh dan menghindari rasa bersalah berkepanjangan adalah penyangkalan. Jika Anda terus membenci diri sendiri dan tidak bisa mencintai diri sendiri, maka kita tidak akan bisa menyembuhkan diri sendiri.
Langkah Ketiga: Hadapilah Rasa Bersalah Dan Cobalah Memahaminya
Kebanyakan orang beranggapan bahwa rasa bersalah kita adalah karena kita kehilangan orang yang kita kecewakan.
Well,.. bukan hak kita melarang dia. Dia sudah memaafkan kita, dan dia harus menghadapi rasa terlukanya dengan caranya sendiri. Kita pun juga begitu, jangan terus menyalahkan diri sendiri. Hadapi rasa bersalah dengan memahaminya. Memahami setiap konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan dan hadapi itu.
Langkah Keempat: Ijinkan Diri Sendiri Untuk Menyembuhkan Diri
Rasa bersalah bukan berarti kita tidak layak untuk berubah.
Memaafkan diri sendiri juga berarti kita berhak untuk tidak dihukum selamanya. Menghukum diri terus-menerus bukan jalan keluar yang baik dan benar dan itu juga tidak akan mengubah kita menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita tetap menyimpan rasa bersalah, maka kita pun akan takut melakukan sesuatu untuk merubah diri ke arah yang lebih baik.
Langkah Kelima: Buatlah Suatu Hubungan Baru
Jika diri kita tidak sanggup memaafkan diri sendiri,
berarti selama ini kita hanya mengharapkan sesuatu yang tidak nyata dengan kata, "Kalau saja..." dan itu tidak akan pernah selesai. Kita harus terus melanjutkan hidup. Sekali kita memutuskan untuk terus, kita harus membina hubungan baru dengan diri sendiri.
Pemimpin
yang Sempurna
by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Isu mengenai kepemimpinan selalu menarik.
Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang pimpinan perusahaan yang oleh teman-temannya disebut sebagai ”orang besar”. Beliau sangat berhasil, banyak teman, aktif dan ’terpandang’ di kalangan organisasi profesinya dan sangat pandai menggolkan proyek jutaan US dolar.
Ketika beliau berkesempatan untuk meninjau kembali gaya kepemimpinannya dan membandingkan kekuatan dan kelemahan dengan koleganya, sesama pimpinan perusahaan tersebut, ada yang berkomentar, ”Bapak tuh rabun dekat, sementara teman Bapak rabun jauh”. Maksudnya, beliau sangat visioner, berpikiran jangka panjang, sementara koleganya lebih memperhatikan detil yang ada di depan mata.
Lah, kalau para pemimpin di perusahaan itu ’rabun’ semua, kok perusahaan bisa sehebat itu?
Harapan terhadap seorang pemimpin ideal memang banyak sekali. Saking banyaknya sehingga bahkan bisa berbentuk mitos, karena hampir tak pernah kita lihat terealisasi.
Ada pemimpin yang pada tahap awal kepemimpinannya memunculkan konsep-konsep baru dan cemerlang, tetapi selanjutnya tidak mampu mengontrol situasi.
Ada pemimpin yang kita tahu sebagai “slow starter”, sehingga setelah lama menjabat terasa tetap tidak melakukan “perbedaan” atau perbaikan keadaan. Tampaknya memang jarang terealisasi ada pemimpin yang mendekati kriteria ”sempurna”;
”No one person could possibly stay on top of everything”.
No comments:
Post a Comment