Seorang salesman sukses datang pada saya: “Perusahaan ini maunya apa, sih? Saya sudah bekerja selama 5 tahun, selalu mencapai target, tidak pernah dinaikkan pangkat, malahan, target saya setiap semester dinaikkan. Apa perusahaan mau menyaksikan kegagalan saya? Karir saya mentok di perusahaan ini....” .
Secara logis tidak ada perusahaan yang ingin “menggencet” karir seseorang, namun ada beberapa hal yang menyebabkan individu merasakan keterhambatan karir.
Bisa saja kompetensinya bagus dibidang penjualan, tetapi di bidang penyeliaan dan manajerial dia lupa mengembangkan diri.
Terkadang kita terlena pada rutinitas dan penghasilan tetap, sehingga merasa bahwa tidak ada jalan untuk membuat nilai tambah pada diri sendiri secara sadar dan terencana.
Tepat pada saat kita merasa ”helpless” itulah karir kita memang betul mentok. Padahal sebagai profesional, kita harus berkembang bagaikan mesin yang selalu ter “tune up” dan siap menanggung beban tantangan terkini.
Yang jelas, sudah tidak jamannya lagi mengharapkan pihak lain, atau perusahaan bertanggungjawab atas pengembangan diri kita. Jangan lagi berkata, ”Aduh, gimana tidak gatek...., perusahaan aja tidak memberi saya laptop”.
Atau,“Mana sempat kursus, lembur sampai malam dan sampai di rumah pun saya masih harus mengurus rumah tangga”.
Profesional yang berhasil adalah mereka yang meyakini bahwa tanggung jawab untuk masa depan dan pengembangan karir ada di tangan dirinya sendiri.
Lihatlah kenyataan bahwa orang yang karirnya menanjak punya kebiasaan luar biasa yang menyebabkan dirinya tidak berhenti”walk the extra mile” untuk berinvestasi di dalam dirinya.
Tidak jarang pula kita menyaksikan kenyataan bahwa beberapa profesional yang sudah mencapai usia lanjut tetapi tetap laku dan ”terpakai”. Bila kita cermati baik baik, profesional senior ini memang belum berhenti ”mengisi” dirinya. Investasi pada diri sendiri, hukumnya: seumur hidup.
Investasi
pada Wawasan dan Ketrampilan.
Kita tidak bisa tampil sebagai seorang yang lamban, sulit diajak berkompromi, keras kepala dan merasa bahwa kita sudah ”mumpuni”. Sikap seperti itu adalah sikap dari profesional yang sudah akan lengser. Kita perlu tampil sebagai seorang yang terbuka, mau belajar dan bisa menyerap setiap isu dengan cepat.
- Cari Cara Kilat Perluas Wawasan : Bangun habituasi membaca dan optimalkan jaringan web untuk mencari tahu hal yang selama ini tidak ada sumbernya. Gunakan teknik speed reading seperti scanning dan skimming, untuk menyerap bacaan dalam waktu singkat, mengingat banyaknya materi bacaan sehubungan dengan industri dan profesi yang kita tekuni tidak bisa kita cerna semuanya. Paksakan diri untuk mengingat dan mengotak atik data dan fakta karena sampai kapan pun seorang profesional perlu fakta dan data bila ingin mengambil keputusan atau memecahkan masalah.
- Kuasai ”Soft Skill” melalui Mentor: Cara-cara komunikasi, negosiasi, persuasi memang bisa dibaca di buku.
Namun, cara yang paling baik adalah mem-”benchmark” langsung dari orang di sekitar kita. Saya belajar untuk bersabar, dari tukang kebun saya, sebaliknya belajar ”memasang kuping”, meningkatkan kepekaan pendengaran dari si DJ putra tercinta.
Investasi pada Ketrampilan Manajerial
Ketrampilan manajerial tidak sama dengan ketrampilan teknis. Padahal inilah cikal bakal ketrampilan menuju jenjang manajemen top. Satu-satunya jalan adalah mengambil kesempatan untuk belajar memimpin kelompok, mempraktekkan teknik-teknik manajerial, dan menggunakan alat-alat manajemen seperti agenda, perencanaan, laporan, lembar kontrol dengan displin ketat sehingga cara kerja manajerial ini menjadi kebiasaan baru.
Hal yang juga kerap dianggap sepele adalah pengelolaan manusia. Hanya melalui komunikasi efektif-lah seseorang bisa membuat orang lain bergerak, bekerja bahkan berkinerja. Untuk itu latihan melakukan negosiasi, briefing, coaching dan counseling harus dikuasai sedini mungkin.
Hanya dengan ketrampilan inilah seseorang bisa menguasai teknik teknik ”bekerja melaui tangan orang lain” .
Investasi
pada Portfolio Sosial
Ada professional yang bila ditanyai berapa relasi yang dia ingat, di dalam maupun di luar perusahaan, hanya bisa menghitung sampai angka 20. Bandingkan dengan profesional yang mempunyai ratusan relasi, keluarga, kerabat, tetangga, teman, atasan, manajemen top. Portofolio sosial kita terdiri dari bukan orang yang kita kenal, tetapi orang yang kenal dan mengingat kita.
Investasi
pada Perangkat Kerja
Kita perlu bisa diakses dan perlu berkomunikasi diluar waktu kerja biasa. Sudah tidak jamannya lagi, kita dengar seorang beralasan: “ oh telpon saya low bat “ Bisa saja orang berkomentar terhadap sikap kita: ”Masakan mengelola batere satu telpon saja tidak bisa...”. Mengoptimalkan fungsi ponsel, komputer, dan perangkat kerja lainnya merupakan suatu keharusan.
Investasi
pada Kebugaran Diri
Sediakanlah waktu yang cukup untuk berolahraga, menjaga asupan makanan, menjalani dengan baik pola hidup sehat.
Demi kebugaran jiwa, ciptakan waktu untuk berkontemplasi, merenung dan menjalankan ibadah sehingga menjadikan diri kita bugar jiwa bagaikan batere yang di ”charge” kembali.
Mulailah berinvestasi pada diri sendiri, maka orang lainpun tidak akan ragu berinvestasi pada kita.
Bercermin
Kenaikan atau penyesuaian gaji selalu merupakan berita yang
ditunggu tunggu pada awal tahun. Walaupun pada dasarnya kenaikan gaji pasti terjadi,
pada umumnya perusahaan dan karyawan, sama sama setuju , bahwa kenaikan gaji
sangat tergantung pada talenta individu. Penilaian talenta inilah yang sering
menyebabkan perbedaan persepsi.
Bila Anda merasakan keengganan untuk meminta masukan orang lain, bahkan “sakit perut” menyaksikan “bad news” yang tertera di dalam angka-angka, misalnya pada lembar penilaian kinerja, maka Anda juga tidak sendirian. Tidak banyak orang merasakan “fun” bila mendapatkan “feedback”.
Bahkan banyak orang mempersepsi acara “feedback” ini sebagai ajang balas dendam, acara pemenggalan, baik dari atasan ke bawahan, maupun sebaliknya, bila bawahan diberi kesempatan mem-feedback atasan.
Dalam pergaulan, tidak sedikit kita menyaksikan orang yang tidak bisa menerima masukan. Masukan dirasakan sebagai serangan dan karena itu perlu diserang kembali ataupun dihindari. Kita pun sering melihat bahwa ada lembaga-lembaga tertentu di pemerintahan yang seakan “lupa” mengevaluasi kinerjanya, padahal tugas dan pekerjaan sehari-harinya adalah: mengevaluasi.
Individu ataupun lembaga bisa saja tetap merasa sejahtera dan oke-oke saja, tanpa evaluasi, bahkan lama-kelamaan kebal terhadap reaksi orang lain di sekitarnya. Tidak jarang kemudian tumbuh pula mekanisme untuk mengarahkan orang lain agar tidak mengevaluasi diri atau lembaganya dan tidak “melihat” apa yang seharusnya dilihat. Memelihara sikap ‘masa bodoh’ dan EGP (emang gue pikiran) begini, memang bisa sejenak membuat nyaman, meskipun tanpa disadari sebetulnya telah menyulut sumbu bom waktu yang tinggal menunggu meledaknya. Banyak orang yang sebenarnya bisa memberi masukan, kemudian malah jadi menghindar. Akibatnya,individu tumbuh menjadi tidak peka terhadap sinyal-sinyal bahaya ataupun perbaikan yang penting dan urgen.
Sebagai mahluk sosial yang ingin maju, kita tentunya juga ingin agar hidup kita dikelilingi oleh bawahan, atasan ,
kolega, rakyat dengan menjalin hubungan yang mesra dan terbuka. Untuk itu tidak ada salahnya bila kita pun melakukan perbaikan dan pengembangan cara kita bercermin , dan menjadi pribadi yang terbuka .
Bila Anda merasakan keengganan untuk meminta masukan orang lain, bahkan “sakit perut” menyaksikan “bad news” yang tertera di dalam angka-angka, misalnya pada lembar penilaian kinerja, maka Anda juga tidak sendirian. Tidak banyak orang merasakan “fun” bila mendapatkan “feedback”.
Bahkan banyak orang mempersepsi acara “feedback” ini sebagai ajang balas dendam, acara pemenggalan, baik dari atasan ke bawahan, maupun sebaliknya, bila bawahan diberi kesempatan mem-feedback atasan.
Dalam pergaulan, tidak sedikit kita menyaksikan orang yang tidak bisa menerima masukan. Masukan dirasakan sebagai serangan dan karena itu perlu diserang kembali ataupun dihindari. Kita pun sering melihat bahwa ada lembaga-lembaga tertentu di pemerintahan yang seakan “lupa” mengevaluasi kinerjanya, padahal tugas dan pekerjaan sehari-harinya adalah: mengevaluasi.
Individu ataupun lembaga bisa saja tetap merasa sejahtera dan oke-oke saja, tanpa evaluasi, bahkan lama-kelamaan kebal terhadap reaksi orang lain di sekitarnya. Tidak jarang kemudian tumbuh pula mekanisme untuk mengarahkan orang lain agar tidak mengevaluasi diri atau lembaganya dan tidak “melihat” apa yang seharusnya dilihat. Memelihara sikap ‘masa bodoh’ dan EGP (emang gue pikiran) begini, memang bisa sejenak membuat nyaman, meskipun tanpa disadari sebetulnya telah menyulut sumbu bom waktu yang tinggal menunggu meledaknya. Banyak orang yang sebenarnya bisa memberi masukan, kemudian malah jadi menghindar. Akibatnya,individu tumbuh menjadi tidak peka terhadap sinyal-sinyal bahaya ataupun perbaikan yang penting dan urgen.
Sebagai mahluk sosial yang ingin maju, kita tentunya juga ingin agar hidup kita dikelilingi oleh bawahan, atasan ,
kolega, rakyat dengan menjalin hubungan yang mesra dan terbuka. Untuk itu tidak ada salahnya bila kita pun melakukan perbaikan dan pengembangan cara kita bercermin , dan menjadi pribadi yang terbuka .
No comments:
Post a Comment