|
New
Scientist adalah
salah satu majalah paling terkenal. Bahasan utama edisi 27 Maret 2002 majalah
tersebut ditulis oleh ilmuwan J.R. Minkel, dengan judul "Hollow
Universe." [Alam Semesta Kosong]
"Why we all live in a hologram" [Mengapa kita semua hidup di
dalam sebuah hologram], demikian bunyi judul utama sampul depan majalah itu.
Ringkasnya, artikel tersebut menyatakan bahwa kita merasakan dunia ini sebagai sebuah paket cahaya. Oleh karena itu, adalah
keliru jika menganggap materi sebagai wujud sesungguhnya yang memiliki
keberadaan mutlak berdasarkan pemahaman yang kita dapatkan melalui panca indra.
Minkel membuat pengakuan:
Anda memegang sebuah majalah.
[Majalah] itu terasa padat;
memiliki semacam keberadaan mandiri dan terpisah di dalam ruang. Sama halnya
dengan benda-benda di sekeliling Anda—misalnya secangkir kopi, sebuah komputer. Mereka semua tampak nyata dan ada
di luar sana di suatu tempat. Tapi semua itu adalah penampakan maya.
Artikel Minkel menyatakan bahwa
sejumlalh ilmuwan menamakan gagasan ini sebagai "teori segalanya,"
dan para ilmuwan itu menganggap teori ini sebagai tahap pertama dalam
menjelaskan sifat sesungguhnya dari alam semesta. Artikel majalah ini menjelaskan secara ilmiah bahwa
kita merasakan keberadaan alam semesta sebagai sebuah bayangan atau penampakan
di dalam otak kita dan karenanya kita tidak berhubungan langsung dengan materi
itu sendiri.
Gangguan
Sistem Pengindraan Dipulihkan dengan Sinyal Tiruan
Dalam edisi 11 Maret 2002, majalah Time menerbitkan
sebuah tulisan berjudul "The Body Electric" [Listrik Tubuh],
yang menyingkap perkembangan ilmiah penting. Artikel itu melaporkan, sejumlah ilmuwan menyatukan chip komputer dengan sistem saraf sejumlah
pasien untuk memperbaiki kerusakan tetap pada indra mereka.
Dengan sistem baru yang mereka kembangkan,
para peneliti di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang bertujuan memberikan alatpenglihatan pada penderita
kebutaan dan membantu sang pasien pulih kembali. Mereka telah mencapai separuh
keberhasilan dengan sistem baru ini dengan mencangkokkan elektroda-elektroda di
daerah terkait pada tubuh pasien, dan chip silikon digunakan untuk menghubungkan
tangan dan kaki tiruan dengan jaringan hidup.
Akibat kecelakaan, seorang pasien asal
Denmark bernama Brian Holgersen mengalami kelumpuhan dari leher ke bawah. Ia hanya
dapat melakukan gerakan sangat terbatas pada kedua pundaknya, lengan kiri dan
tangan kiri. Sebagaimana diketahui, kelumpuhan semacam ini disebabkan oleh
kerusakan saraf tulang belakang pada leher dan punggung. Saraf-sarafnya
mengalami kerusakan atau penyumbatan, sehingga menghentikan lalu lintas saraf
antara otak dan otot, dan memutuskan komunikasi antara saraf-saraf yang
meneruskan sinyal-sinyal yang mengalir
bolak balik dari tubuh ke otak.
Terhadap pasien ini, yang akan dilakukan adalah memulihkan bagian yang rusak
pada saraf tulang belakang dengan pencangkokkan perangkat khusus, sehingga
memungkinkan sinyal-sinyal dari otak mengembalikan sedikit kemampuan gerak pada
lengan dan kaki.
Mereka menggunakan sebuah sistem yang
dirancang untuk mengembalikan kemampuan gerak dasar tangan kiri, seperti
menggenggam, memegang, dan melepaskan benda-benda. Dalam sebuah operasi,
delapan elektroda lentur seukuran uang logam ditanam ke dalam otot-otot yang
berperan dalam gerakan tersebut, yakni pada lengan kiri bagian atas, lengan
bawah dan bahu pasien. Kemudian, kabel sangat halus menghubungkan
elektroda-elektroda ini dengan sebuah stimulator [alat pembangkit
rangsangan]—semacam pacemaker [alat pembangkit dan pengatur
timbulnya rangsangan] untuk sistem saraf— yang ditanam pada dadanya. Alat
pembangkit rangsangan ini kemudian dihubungkan dengan sebuah perangkat
pengindra posisi yang direkatkan pada bahu kanan Holgersen—di mana ia masih
dapat mengendalikan geraknya hingga batas tertentu.
Kini, ketika sang pasien ingin mengambil
gelas, ia menggerakkan bahu kanannya ke atas. Gerakan ini mengirimkan sebuah
sinyal listrik dari perangkat pengindra posisi, yang terpasang di bawah
bajunya, ke alat pembangkit rangsangan di dalam dadanya, yang lallu memperkuat
sinyal tersebut dan meneruskannya ke otot-otot terkait pada lengan dan
tangannya. Sebagai tanggapan, otot-otot ini menegang, dan tangan kirinya pun
menutup. Ketika ia hendak melepaskan gelas tersebut, ia menggerakkan bahu
kanannya ke bawah,sehingga tangan
kirinya membuka.
Universitas Louvain di Brussels
menggunakan penerapan teknologi serupa terkait dengan penglihatan. Sel-sel
batang dan kerucut seorang pasien mengalami kerusakan, sehingga menyebabkan
retina menjadi tidak peka terhadap cahaya. Akibatnya, ia menjadi buta. Sebuah
elektroda yang ditanam di sekeliling saraf matanya membantunya mendapatkan
kembali sebagian kemampuan melihatnya.
Dalam kasus pasien ini, elektroda
tersebut dihubungkan dengan alat pembangkit rangsangan yang ditempatkan di
dalam sebuah rongga di dalam tempurung kepalanya. Sebuah kamera video, yang
terpasang pada topi, meneruskan gambar yang diterimanya ke alat pembangkit
rangsangan dalam bentuk sinyal-sinyal radio, tanpa melewati sel-sel batang dan
kerucut yang rusak, dan mengirimkan sinyal-sinyal listrik langsung menuju ke saraf mata. Korteks visual pada otak
menggabungkan kembali sinyal-sinyal ini untuk membentuk sebuah gambar. Apa yang
dialami pasien dapat disamakan dengan melihat sebuah tiruan kecil papan iklan
di gelanggang olah raga. Meskipun demikian mutu yang didapatkan sudah cukup
untuk membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan.
Sistem ini disebut "Microsystem-based
Visual Prosthesis" [Organ Penglihatan Buatan Berdasarkan Sistem
Mikro], sebuah perangkat yang ditanam untuk selamanya di dalam kepala pasien.
Namun untuk menjadikan semuanya berfungsi, sang pasien harus pergi ke ruangan
yang dirancang khusus di Universitas Louvain dan memakai sesuatu yang
menyerupai topi renang yang rusak. Topi renang ini terbuat dari plastik dengan
kamera video biasa yang dipasang di bagian depannya. Semakin besar ukuran pixel yang digunakan untuk membentuk sebuah
gambar pada layar, maka semakin besar jumlah rangsangan listriknya; oleh
karenanya, semakin baik pula mutu resolusi gambarnya.
Artikel yang sama merujuk pada sebuah
pertunjukan menarik oleh seorang artis panggung yang memanfaatkan teknologi
serupa:
Dalam sebuah pagelaran di tahun 1998,
Stelarc menyambungkan tubuhnya sendiri dengan kabel secara langsung ke Internet. Tubuhnya
dihubungkan dengan ujung-ujung elektroda—pada otot ujung bahu, otot bisep, otot
penggerak sendi, tendon di belakang lutut dan otot betis—yang mengirimkan denyut listrik lemah, sekadar cukup untuk
memicu otot-otot menegang dengan sendirinya. Elektroda-elektroda tersebut
dihubungkan dengan sebuah komputer, yang kemudian dihubungkan melalui Internet
dengan komputer-komputer di Paris, Helsinki dan Amsterdam. Dengan menekan
berbagai bagian dari gambar tiruan tubuh manusia pada layar
sentuh, para peserta di tiga tempat tersebut dapat membuat Stelarc melakukan apa saja yang mereka
inginkan.
Teknologi ini, jika ukurannya
dapat diperkecil sehingga dapat ditempatkan di dalam tubuh, akan membuka jalan
bagi perkembangan menyeluruh di bidang kedokteran. Perkembangan ini
memperlihatkan satu kenyataan penting lain: Dunia luar adalah gambar salinan
yang kita saksikan di dalam otak kita…
No comments:
Post a Comment