Motivasi untuk barubah tampaknya akan
terus menjadi primadona sepanjang masa. Toko buku dipenuhi oleh buku-buku yang
intinya mengajak pembacanya untuk berubah. Bahkan, kata perubahan atau change sering mampu
menyihir orang untuk melihat harapan baru. Hampir semua orang ingin berubah.
Tentunya berubah untuk menjadi yang lebih baik. Orang pada prinsipnya memahami
bahwa bila perubahan itu benar-benar terjadi, maka ada harapan baru untuk
menjadi lebih baik. Jadi, apa lagi kurangnya kata perubahan? Sangat powerful, bukan?
Sayangnya
kekuatan kata perubahan itu tidak selalu seiring dengan aktivitas untuk berubah
(action to change).
Orang ingin perubahan tetapi orang juga tidak suka perubahan. Ini yang
menjadikan perubahan itu rumit! Kita sadar bahwa kita harus bangun lebih pagi
agar kita lebih produktif karena memulai aktivitas lebih dini. Namun, yang
terjadi adalah tidak mudah untuk kita mengubah kebiasaan untuk bangun lebih
pagi. Banyak hal yang kita ingin ubah. Kita ingin berubah dari suka menunda
pekerjaan menuju tidak suka menunda pekerjaan; dari boros ke hemat; dari
penakut ke pemberani; dari miskin ke kaya; dan masih banyak lagi daftar
perubahan yang kita ingin lakukan. Tetapi, mengapa kita sendiri cenderung tidak
mau berubah? Mengapa berubah tidak mudah?
Banyak pakar
manajemen perubahan yang memberi resep untuk berubah, baik untuk perubahan diri
maupun perubahan organisasi. Namun, jarang diteliti mengapa resep perubahan
sering tidak dapat bekerja dengan baik. Secara konsep sudah luar biasa, tetapi
hasilnya tidak juga menggembirakan. Mengapa?
Profesor John P.
Kotter, pakar manajemen perubahan dari Harvard Business School, mengatakan
bahwa orang maupun organisasi gagal berubah yang pertama-tama dikarenakan
mereka tidak dapat melihat faktor kemendesakan (sense of urgency) dari perubahan
tersebut. Semakin kita melihat suatu hal itu mendesak—apa lagi yang akan sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup seseorang maupun organisasi—akan
semakin serius hasrat kita untuk berubah.
Saat kita ingin
mengubah kebiasaan untuk bangun pagi—namun apabila kita tidak jadi bangun pagi
tidak akan ada efek yang serius untuk kita—maka di sini kita tidak melihat
adanya kemendesakan mengubah kebiasaan dari bangun siang ke bangun pagi
tersebut. Namun, misalnya kita dihadapkan pada kondisi bahwa karena suatu
alasan maka kantor kita harus buka pukul 5 pagi, dan bagi karyawan yang belum
hadir pada pukul 5 pagi akan langsung dipecat tanpa alasan! Maka, di sini bagun
pagi menjadi hal yang sangat penting, sangat menentukan hidup mati kita, sangat
urgent!
Kondisi mana
yang akan mendorong kita untuk cepat berubah? Tentunya kondisi yang kedua
karena bila kita tidak bisa bangun sebelum pukul 5 pagi maka PHK menanti! Ini urgent!
Jadi, agar
perubahan efektif kita harus pandai-pandai menciptakan sense of urgency.
Kita harus bisa secara cerdas merumuskan bahwa perubahan yang sedang kita
lakukan ini sangat menentukan kelangsungan hidup kita. Namun, harus diingat
bahwa kita tidak boleh hanya berpura-pura mendesak! Jangan lakukan ini karena
hanya membohongi diri sendiri. Sense
of urgency harus asli, yang didapatkan dari perenungan yang
mendalam, dan ada gambaran yang gamblang di depan mata kita bahwa perubahan
tersebut benar-benar mendesak.
Alasan
berikutnya mengapa berubah itu tidak mudah adalah karena perubahan selalu
menimbulkan ketidaknyamanan. Hampir semua perubahan akan menjadikan kita lebih
baik, namun untuk menuju ke sana harus ada perubahan kebiasaan, perubahan
proses, bahkan mungkin perubahan filosofi. Sangat tidak masuk akal kalau kita
mengharapkan perubahan hasil tanpa mengubah proses untuk mendapatkan hasil
tersebut. Kalau kita sudah terbiasa makan dengan tangan kanan kemudian kita
ubah menjadi makan dengan tangan kiri, bisa kita bayangkan betapa tidak nyamannya.
Nah, di sini kita harus pandai-pandai meyakinkan diri sendiri bahwa
ketidaknyamanan itu sifatnya hanya sementara. Apabila perubahan yang kita
lakukan sudah menjadi kebiasaan akhirnya akan menjadi nyaman pula.
Orang memang
tidak mudah untuk meninggalkan comfort
zone, yaitu suatu zona ataupun kebiasaan yang selama ini telah kita
rasakan nyaman. Confort
zone bukan suatu hal yang objektif. Ini menyangkut perasaan. Orang
yang sudah terbiasa hidup di kota metropolitan akan tetap nyaman di tengah
hiruk pikuk kota yang serba ada. Mereka merasa tidak nyaman bila harus hidup
dalam suasana sepi di desa yang tentunya tidak didukung fasilitas yang sebaik
di kota metropolitan. Jadi, orang kota memiliki kenyamanan tersendiri untuk
hidup di kota, dan orang desa memiliki kenyamanan tersendiri pula untuk hidup
di desa. Namun, mengapa ada orang desa yang kemudian nyaman hidup di kota
metropolitan, dan sebaliknya ada pula orang kota yang kemudian hidup nyaman
tinggal di desa? Ya, benar. Itu karena mereka akhirnya menemukan comfort zone yang
baru.
Di sini kita
bisa melihat bahwa sebenarnya perubahan itu, kalau kita sabar, kita akan
menemukan comfort
zone baru yang mungkin lebih nyaman. Masalahnya di sini, cukup
sabarkah kita untuk meninggalkan comfort
zone lama menuju comfort
zone yang baru? Jadi, kekurangsabaran juga merupakan salah satu
alasan mengapa berubah itu tidak mudah. Kesabaran jangan disalahartikan menjadi
menerima apa adanya dalam kondisi apa pun. Kesabaran harus diartikan dalam
koridor keteguhan hati untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Orang yang
sabar akan terus berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Sebagai
kesimpulan, perubahan itu tidak mudah kalau tidak ada unsur kemendesakan dalam
perubahan tersebut. Perubahan juga tidak mudah karena pada mulanya perubahan
akan menimbulkan ketidaknyamanan. Orang cenderung enggan meninggalkan comfort zone
walaupun sebenarnya perubahan adalah perjalanan menuju comfort zone yang
baru. Sayangnya, tidak banyak orang yang cukup sabar dan konsisten berjuang
untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
No comments:
Post a Comment