Amerika

Sunday, September 21, 2014

Berubah? Siapa takut!




 



Motivasi untuk barubah tampaknya akan terus menjadi primadona sepanjang masa. Toko buku dipenuhi oleh buku-buku yang intinya mengajak pembacanya untuk berubah. Bahkan, kata perubahan atau change sering mampu menyihir orang untuk melihat harapan baru. Hampir semua orang ingin berubah. Tentunya berubah untuk menjadi yang lebih baik. Orang pada prinsipnya memahami bahwa bila perubahan itu benar-benar terjadi, maka ada harapan baru untuk menjadi lebih baik. Jadi, apa lagi kurangnya kata perubahan? Sangat powerful, bukan?
Sayangnya kekuatan kata perubahan itu tidak selalu seiring dengan aktivitas untuk berubah (action to change). Orang ingin perubahan tetapi orang juga tidak suka perubahan. Ini yang menjadikan perubahan itu rumit! Kita sadar bahwa kita harus bangun lebih pagi agar kita lebih produktif karena memulai aktivitas lebih dini. Namun, yang terjadi adalah tidak mudah untuk kita mengubah kebiasaan untuk bangun lebih pagi. Banyak hal yang kita ingin ubah. Kita ingin berubah dari suka menunda pekerjaan menuju tidak suka menunda pekerjaan; dari boros ke hemat; dari penakut ke pemberani; dari miskin ke kaya; dan masih banyak lagi daftar perubahan yang kita ingin lakukan. Tetapi, mengapa kita sendiri cenderung tidak mau berubah? Mengapa berubah tidak mudah?
Banyak pakar manajemen perubahan yang memberi resep untuk berubah, baik untuk perubahan diri maupun perubahan organisasi. Namun, jarang diteliti mengapa resep perubahan sering tidak dapat bekerja dengan baik. Secara konsep sudah luar biasa, tetapi hasilnya tidak juga menggembirakan. Mengapa?
Profesor John P. Kotter, pakar manajemen perubahan dari Harvard Business School, mengatakan bahwa orang maupun organisasi gagal berubah yang pertama-tama dikarenakan mereka tidak dapat melihat faktor kemendesakan (sense of urgency) dari perubahan tersebut. Semakin kita melihat suatu hal itu mendesak—apa lagi yang akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup seseorang maupun organisasi—akan semakin serius hasrat kita untuk berubah.
Saat kita ingin mengubah kebiasaan untuk bangun pagi—namun apabila kita tidak jadi bangun pagi tidak akan ada efek yang serius untuk kita—maka di sini kita tidak melihat adanya kemendesakan mengubah kebiasaan dari bangun siang ke bangun pagi tersebut. Namun, misalnya kita dihadapkan pada kondisi bahwa karena suatu alasan maka kantor kita harus buka pukul 5 pagi, dan bagi karyawan yang belum hadir pada pukul 5 pagi akan langsung dipecat tanpa alasan! Maka, di sini bagun pagi menjadi hal yang sangat penting, sangat menentukan hidup mati kita, sangat urgent!
Kondisi mana yang akan mendorong kita untuk cepat berubah? Tentunya kondisi yang kedua karena bila kita tidak bisa bangun sebelum pukul 5 pagi maka PHK menanti! Ini urgent!
Jadi, agar perubahan efektif kita harus pandai-pandai menciptakan sense of urgency. Kita harus bisa secara cerdas merumuskan bahwa perubahan yang sedang kita lakukan ini sangat menentukan kelangsungan hidup kita. Namun, harus diingat bahwa kita tidak boleh hanya berpura-pura mendesak! Jangan lakukan ini karena hanya membohongi diri sendiri. Sense of urgency harus asli, yang didapatkan dari perenungan yang mendalam, dan ada gambaran yang gamblang di depan mata kita bahwa perubahan tersebut benar-benar mendesak.
Alasan berikutnya mengapa berubah itu tidak mudah adalah karena perubahan selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Hampir semua perubahan akan menjadikan kita lebih baik, namun untuk menuju ke sana harus ada perubahan kebiasaan, perubahan proses, bahkan mungkin perubahan filosofi. Sangat tidak masuk akal kalau kita mengharapkan perubahan hasil tanpa mengubah proses untuk mendapatkan hasil tersebut. Kalau kita sudah terbiasa makan dengan tangan kanan kemudian kita ubah menjadi makan dengan tangan kiri, bisa kita bayangkan betapa tidak nyamannya. Nah, di sini kita harus pandai-pandai meyakinkan diri sendiri bahwa ketidaknyamanan itu sifatnya hanya sementara. Apabila perubahan yang kita lakukan sudah menjadi kebiasaan akhirnya akan menjadi nyaman pula.
Orang memang tidak mudah untuk meninggalkan comfort zone, yaitu suatu zona ataupun kebiasaan yang selama ini telah kita rasakan nyaman. Confort zone bukan suatu hal yang objektif. Ini menyangkut perasaan. Orang yang sudah terbiasa hidup di kota metropolitan akan tetap nyaman di tengah hiruk pikuk kota yang serba ada. Mereka merasa tidak nyaman bila harus hidup dalam suasana sepi di desa yang tentunya tidak didukung fasilitas yang sebaik di kota metropolitan. Jadi, orang kota memiliki kenyamanan tersendiri untuk hidup di kota, dan orang desa memiliki kenyamanan tersendiri pula untuk hidup di desa. Namun, mengapa ada orang desa yang kemudian nyaman hidup di kota metropolitan, dan sebaliknya ada pula orang kota yang kemudian hidup nyaman tinggal di desa? Ya, benar. Itu karena mereka akhirnya menemukan comfort zone yang baru.
Di sini kita bisa melihat bahwa sebenarnya perubahan itu, kalau kita sabar, kita akan menemukan comfort zone baru yang mungkin lebih nyaman. Masalahnya di sini, cukup sabarkah kita untuk meninggalkan comfort zone lama menuju comfort zone yang baru? Jadi, kekurangsabaran juga merupakan salah satu alasan mengapa berubah itu tidak mudah. Kesabaran jangan disalahartikan menjadi menerima apa adanya dalam kondisi apa pun. Kesabaran harus diartikan dalam koridor keteguhan hati untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Orang yang sabar akan terus berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Sebagai kesimpulan, perubahan itu tidak mudah kalau tidak ada unsur kemendesakan dalam perubahan tersebut. Perubahan juga tidak mudah karena pada mulanya perubahan akan menimbulkan ketidaknyamanan. Orang cenderung enggan meninggalkan comfort zone walaupun sebenarnya perubahan adalah perjalanan menuju comfort zone yang baru. Sayangnya, tidak banyak orang yang cukup sabar dan konsisten berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

No comments:

Post a Comment