Amerika

Sunday, September 21, 2014

Apakah Hanya Anak yang Durhaka?




Banyak cerita tentang bagaimana seorang anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya, yang akhirnya dikutuk menjadi batu seperti “si Malin Kundang”. Dari kecil, kita diajari untuk patuh kepada orang tua, menghormati, dan mentaati perintahnya. Anak yang menurut apa kata orang tuanya akan selamat, dan yang tidak menuruti nasihat orang tua akan celaka.
Kebanyakan orang tua masuk dalam kategori baik dan normal sehingga antara nasihat dan perbuatan seiring sejalan. Anak akan mengikuti nasihat orang tuanya jika ia juga tahu bahwa orang tuanya melakukan hal-hal yang dinasihatkannya. Orang tua yang mengajarkan disiplin, misalnya bangun pagi, dan jika mereka juga bangun pagi setiap hari, maka akan menularlah kebiasaan bangun pagi itu kepada keluarganya.
Sebaliknya, jika antara nasihat dan perbuatan tidak seiring sejalan, bahkan bertolak belakang, maka anak akan sulit menuruti nasihat orang tuanya. Orang tua yang merasa bahwa nasihat itu hanya berlaku untuk anaknya, dan bukan kepada dirinya juga, akan kesulitan dalam memberikan pengertian kepada anaknya. Contoh paling nyata adalah jika kita tidak pernah terlihat melakukan salat lima waktu, bagaimana kita dapat membuat anak kita salat? Mungkin, waktu masih kecil mereka bisa dipaksa melakukan hal itu. Tetapi, pada saat mereka sudah mampu berpikir, apalagi sudah dewasa, maka nasihat orang itu tidak berlaku.
Beberapa teman sering mengeluhkan bagaimana perilaku orang tua mereka. Ada yang tidak memikirkan sama sekali bagaimana persiapan pensiunnya. Pada waktu muda dan masih menjabat, uang dihabiskan untuk kesenangan diri sendiri. Pada saat sudah tidak mempunyai penghasilan lagi, gaya hidup enak sudah tidak bisa diubah. Kebiasaan hidup senang, makan enak, baju bagus, dan bepergian ke mana saja dia suka tidak dapat ditinggalkan. Hasilnya, sedikit demi sedikit uang yang tersisa jadi habis, lalu mulailah menjual harta benda yang ada, bahkan sampai tidak mempunyai apa-apa sama sekali.
Memang, kewajiban anak adalah menjaga dan merawat orang tuanya pada saat mereka sudah tidak mampu. Di sisi lain, orang tua juga harus sadar atas kemampuan anaknya. Jika kebetulan mempunyai anak yang berlebihan dan cukup, mungkin tidak ada persoalan lagi. Tetapi, jika anak hidupnya pas-pasan, seharusnya orang tua memahami keadaan ini. Kalaupun anak hidup berkecukupan, alangkah indahnya jika kita sebagai orang tua tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada anak. Untuk orang tua yang memang keadaannya tidak mampu dan mengharapkan agar anaknya gantian menjaga serta merawat mereka, memang itu bisa dimaklumi.
Yang ingin saya bicarakan di sini adalah orang tua yang tidak mempersiapkan hari tuanya, padahal sebenarnya mereka mampu. Ada orang tua yang tidak mau tahu dengan keadaan anaknya. Mereka, dengan gaya hidupnya yang tidak mau susah, akhirnya bisa menjadi beban anaknya. Keadaan rumah tangga anak pun dapat menjadi panas dikarenakan urusan mertua dan orang tua yang tidak ada habisnya.
Ada juga orang tua yang senang menjalin hubungan dengan orang lain, dalam arti mempunyai affair atau kawin cerai, tanpa memikirkan bagaimana nasib anaknya. Yang dikejar hanya kesenangan dirinya sendiri. Sebagian laki-laki muslim—dengan dalih mampu dan mengikuti sunnah Rasul—mereka melakukan poligami. Jika dilakukan dengan baik dan terbuka, serta dimusyawarahkan dengan baik—apalagi jika dapat berlaku adil terhadap keluarga—maka keadaan akan aman dan damai. Biasanya, yang terjadi justru sebaliknya, selingkuh atau kawin lagi dilakukan dengan diam-diam. Jika ketahuan akan terjadi keributan. Bisa juga mereka yang doyan kawin cerai, hanya mengurus istri dan anak yang terakhir saja, sementara anak-anak dari perkawinan yang terdahulu tidak diurus lagi.
Ada teman perempuan saya yang sudah kawin cerai sebanyak tiga kali. Setiap kali kawin pasti mempunyai anak, dan ketika bercerai semua anak ikut dia. Masalahnya, selain beban ekonomi juga ada masalah antara anak dengan bapak tirinya, atau dengan keluarga suaminya. Biasanya, perempuan menjadi rentan atau stres, berakhir dengan marah-marah dan pelampiasan kepada anak-anaknya yang tidak berdosa.
Dari cerita teman saya itu, suami ketiganya yang diharapkan terakhir, ternyata hanya bertahan baik selama setahun pertama saja. Sekarang, suaminya mulai main judi dan tidak memberikan nafkah lagi. Apa ini nasib? Atau, apakah ini disebabkan karena teman saya itu terlalu cepat mengambil keputusan kawin lagi, tanpa pertimbangan yang cermat?
Ada juga teman saya yang punya anak lima. Alasan dia kawin tidak dengan dasar cinta, tetapi karena dijodohkan (dan karena anaknya lima?). Teman ini membalas perilaku selingkuh suaminya dengan ikutan-ikutan selingkuh. Lucunya, pasangan selingkuhnya suami orang, dan jauh kualitasnya dibandingkan suaminya yang dulu. Alhasil, anak-anaknya yang sudah besar, dan bahkan sudah ada yang menikah, jadi kecewa sekali. Ibu seharusnya memberikan contoh ketabahan dan kesetiaan, bukannya menghibur diri sendiri dengan jalan yang salah.
Dari cerita di atas, kemungkinan besar anak akan mendapat gambaran yang buruk mengenai perilaku orang tuanya. Mereka akan merasa sebagai pihak yang disakiti, tidak diperhatikan, kurang mendapatkan kasih sayang, bahkan berebut perhatian dan kasih sayang di antara saudara. Sebagai anak, hak kita dirampas tanpa bisa berbuat apa pun.
Kalaupun kita termasuk anak yang tidak terurus, tetapi nantinya berhasil atau sukses, maka jangan disalahkan jika anak tidak menaruh hormat atau sayang kepada orang tuanya. Mereka merasa bahwa kesuksesannya diraih tanpa dukungan orang tuanya. Mereka—yang tidak mengerti latar belakangnya mengapa anak bersikap demikian—akan memberikan komentar, bahwa kita adalah anak yang tidak mengurus orang tuanya. Apalagi jika kita mampu dan kaya, mungkin komentarnya kita ini sebagai anak durhaka.
Selalu dikatakan, bahwa jangan pernah melawan orang tua, jangan pernah menyakiti mereka, dengan alasan apa pun, tidak ada ruang gerak bagi anak untuk berbuat tidak baik terhadap orang tuanya. Memang, tidak dapat dipaksakan—jika anak yang merasa disakiti, tidak diurus, bahkan ditelantarkan—akhirnya mereka tidak meedulikan orang tuanya.
Kalau kita termasuk orang yang bijak dan ikhlas, kemungkinan besar kita akan mengurus orang tua kita, tanpa memerhitungkan bagaimana jeleknya perlakuan orang tua kepada kita dahulu. Yang terpenting, kita mengambil hikmah untuk tidak melakukan hal yang sama seperti orang tua kita. Kita mesti belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik, sembari mempersiapkan hari tua kita sendiri. Kita mesti belajar menjadi teladan bagi anak-anak kita serta berusaha supaya tetap dapat bermanfaat bagi lingkungan kita.[iy]

No comments:

Post a Comment