Banyak cerita tentang bagaimana seorang anak yang tidak berbakti
kepada orang tuanya, yang akhirnya dikutuk menjadi batu seperti “si Malin
Kundang”. Dari kecil, kita
diajari untuk patuh kepada orang tua, menghormati, dan mentaati perintahnya.
Anak yang menurut apa kata orang tuanya akan selamat, dan yang tidak menuruti
nasihat orang tua akan celaka.
Kebanyakan orang
tua masuk dalam kategori baik dan normal sehingga antara nasihat dan perbuatan
seiring sejalan. Anak akan mengikuti nasihat orang tuanya jika ia juga tahu
bahwa orang tuanya melakukan hal-hal yang dinasihatkannya. Orang tua yang
mengajarkan disiplin, misalnya bangun pagi, dan jika mereka juga bangun pagi
setiap hari, maka akan menularlah kebiasaan bangun pagi itu kepada keluarganya.
Sebaliknya, jika
antara nasihat dan perbuatan tidak seiring sejalan, bahkan bertolak belakang,
maka anak akan sulit menuruti nasihat orang tuanya. Orang tua yang merasa bahwa
nasihat itu hanya berlaku untuk anaknya, dan bukan kepada dirinya juga, akan
kesulitan dalam memberikan pengertian kepada anaknya. Contoh paling nyata
adalah jika kita tidak pernah terlihat melakukan salat lima waktu, bagaimana
kita dapat membuat anak kita salat? Mungkin, waktu masih kecil mereka bisa
dipaksa melakukan hal itu. Tetapi, pada saat mereka sudah mampu berpikir,
apalagi sudah dewasa, maka nasihat orang itu tidak berlaku.
Beberapa teman
sering mengeluhkan bagaimana perilaku orang tua mereka. Ada yang tidak
memikirkan sama sekali bagaimana persiapan pensiunnya. Pada waktu muda dan
masih menjabat, uang dihabiskan untuk kesenangan diri sendiri. Pada saat sudah
tidak mempunyai penghasilan lagi, gaya hidup enak sudah tidak bisa diubah.
Kebiasaan hidup senang, makan enak, baju bagus, dan bepergian ke mana saja dia
suka tidak dapat ditinggalkan. Hasilnya, sedikit demi sedikit uang yang tersisa
jadi habis, lalu mulailah menjual harta benda yang ada, bahkan sampai tidak
mempunyai apa-apa sama sekali.
Memang,
kewajiban anak adalah menjaga dan merawat orang tuanya pada saat mereka sudah
tidak mampu. Di sisi lain, orang tua juga harus sadar atas kemampuan anaknya.
Jika kebetulan mempunyai anak yang berlebihan dan cukup, mungkin tidak ada
persoalan lagi. Tetapi, jika anak hidupnya pas-pasan, seharusnya orang tua
memahami keadaan ini. Kalaupun anak hidup berkecukupan, alangkah indahnya jika
kita sebagai orang tua tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada anak. Untuk
orang tua yang memang keadaannya tidak mampu dan mengharapkan agar anaknya
gantian menjaga serta merawat mereka, memang itu bisa dimaklumi.
Yang ingin saya
bicarakan di sini adalah orang tua yang tidak mempersiapkan hari tuanya,
padahal sebenarnya mereka mampu. Ada orang tua yang tidak mau tahu dengan
keadaan anaknya. Mereka, dengan gaya hidupnya yang tidak mau susah, akhirnya
bisa menjadi beban anaknya. Keadaan rumah tangga anak pun dapat menjadi panas
dikarenakan urusan mertua dan orang tua yang tidak ada habisnya.
Ada juga orang
tua yang senang menjalin hubungan dengan orang lain, dalam arti mempunyai affair atau kawin
cerai, tanpa memikirkan bagaimana nasib anaknya. Yang dikejar hanya kesenangan
dirinya sendiri. Sebagian laki-laki muslim—dengan dalih mampu dan mengikuti
sunnah Rasul—mereka melakukan poligami. Jika dilakukan dengan baik dan terbuka,
serta dimusyawarahkan dengan baik—apalagi jika dapat berlaku adil terhadap
keluarga—maka keadaan akan aman dan damai. Biasanya, yang terjadi justru
sebaliknya, selingkuh atau kawin lagi dilakukan dengan diam-diam. Jika ketahuan
akan terjadi keributan. Bisa juga mereka yang doyan kawin cerai, hanya mengurus
istri dan anak yang terakhir saja, sementara anak-anak dari perkawinan yang
terdahulu tidak diurus lagi.
Ada teman
perempuan saya yang sudah kawin cerai sebanyak tiga kali. Setiap kali kawin
pasti mempunyai anak, dan ketika bercerai semua anak ikut dia. Masalahnya,
selain beban ekonomi juga ada masalah antara anak dengan bapak tirinya, atau
dengan keluarga suaminya. Biasanya, perempuan menjadi rentan atau stres,
berakhir dengan marah-marah dan pelampiasan kepada anak-anaknya yang tidak
berdosa.
Dari cerita
teman saya itu, suami ketiganya yang diharapkan terakhir, ternyata hanya
bertahan baik selama setahun pertama saja. Sekarang, suaminya mulai main judi
dan tidak memberikan nafkah lagi. Apa ini nasib? Atau, apakah ini disebabkan
karena teman saya itu terlalu cepat mengambil keputusan kawin lagi, tanpa
pertimbangan yang cermat?
Ada juga teman
saya yang punya anak lima. Alasan dia kawin tidak dengan dasar cinta, tetapi
karena dijodohkan (dan karena anaknya lima?). Teman ini membalas perilaku
selingkuh suaminya dengan ikutan-ikutan selingkuh. Lucunya, pasangan
selingkuhnya suami orang, dan jauh kualitasnya dibandingkan suaminya yang dulu.
Alhasil, anak-anaknya yang sudah besar, dan bahkan sudah ada yang menikah, jadi
kecewa sekali. Ibu seharusnya memberikan contoh ketabahan dan kesetiaan,
bukannya menghibur diri sendiri dengan jalan yang salah.
Dari cerita di
atas, kemungkinan besar anak akan mendapat gambaran yang buruk mengenai
perilaku orang tuanya. Mereka akan merasa sebagai pihak yang disakiti, tidak
diperhatikan, kurang mendapatkan kasih sayang, bahkan berebut perhatian dan
kasih sayang di antara saudara. Sebagai anak, hak kita dirampas tanpa bisa
berbuat apa pun.
Kalaupun kita
termasuk anak yang tidak terurus, tetapi nantinya berhasil atau sukses, maka
jangan disalahkan jika anak tidak menaruh hormat atau sayang kepada orang
tuanya. Mereka merasa bahwa kesuksesannya diraih tanpa dukungan orang tuanya.
Mereka—yang tidak mengerti latar belakangnya mengapa anak bersikap
demikian—akan memberikan komentar, bahwa kita adalah anak yang tidak mengurus
orang tuanya. Apalagi jika kita mampu dan kaya, mungkin komentarnya kita ini
sebagai anak durhaka.
Selalu
dikatakan, bahwa jangan pernah melawan orang tua, jangan pernah menyakiti
mereka, dengan alasan apa pun, tidak ada ruang gerak bagi anak untuk berbuat
tidak baik terhadap orang tuanya. Memang, tidak dapat dipaksakan—jika anak yang
merasa disakiti, tidak diurus, bahkan ditelantarkan—akhirnya mereka tidak
meedulikan orang tuanya.
Kalau kita
termasuk orang yang bijak dan ikhlas, kemungkinan besar kita akan mengurus
orang tua kita, tanpa memerhitungkan bagaimana jeleknya perlakuan orang tua
kepada kita dahulu. Yang terpenting, kita mengambil hikmah untuk tidak
melakukan hal yang sama seperti orang tua kita. Kita mesti belajar bagaimana
menjadi orang tua yang baik, sembari mempersiapkan hari tua kita sendiri. Kita
mesti belajar menjadi teladan bagi anak-anak kita serta berusaha supaya tetap
dapat bermanfaat bagi lingkungan kita.[iy]
No comments:
Post a Comment