Pertanyaan ini mungkin tidak untuk semua kita.
Barangkali hanya sebagian kita. Tapi entahlah bila kenyataan sesungguhnya, itu adalah pertanyaan untuk semua kita. Ya, sebab boleh jadi kebanyakan kita tiba-tiba merasakan suasana itu. Suasana sunyi. Saat orang-orang dekat, perlahan-lahan atau tiba-tiba terasa sangat jauh.
Orang-orang dekat itu entah siapa. Mereka ada banyak. Mungkin Ayah, Ibu, Kakak, Adik, Suami atau Istri. Orang-orang yang dengan sabar memohon jodoh kepada Allah serta mengikhtiarkannya dengan cara yang halal pun pasti punya orang-orang dekat yang dicintai sepenuh hati. Keluarga, sanak saudara, atau karib kerabat. Sahabat-sahabat setia kita atau teman-teman seperjuangan.
Bahkan teman-teman yang sebenarnya tak ada hubungan darah atau keturunan, kadang bisa menjadi orang-orang dekat yang punya tempat tersendiri di dalam lubuk hati kita.
Begitulah karunia Allah yang diberikan kepada kita. Kita menjadi makhluk yang bisa memiliki jiwa sosial, jiwa kebersamaan, semangat kolektifitas yang luar biasa.
Tetapi ada kalanya semua itu berubah menjadi hambar, pahit, sepi dan kering kerontang. Seperti danau di musim kemarau. Tak ada lagi air tenang yang menggenang. Tinggal kerak-kerak tanah yang pecak-pecah dan mengundang iba. Apa yang salah dengan semua ini?
Begitulah karunia Allah diberikan kepada kita. Hati kita tertaut pada hal-hal yang kepadanya secara fitrah kita bersandar. Tentu saja termasuk dalam hal ini, adalah kecendrungan-kecendrungan kita untuk dekat dengan sesama manusia. Bertaut pada orang-orang dekat. Orang-orang dekat kita perlukan tidak semata sebagai sebuah sandaran objek. Tapi juga sebagai penjaga keseimbangan. Kita diciptakan dalam kondisi memerlukan orang lain. Sebagai sebuah ekosistem permanen.
Kita dilahirkan dengan kebutuhan yang sangat alami akan orang lain. Keluarga, teman, tetangga, masyarakat, juga orang-orang lain yang mungkin bisa menjadi teman yang akan kita jadikan tempat untuk menimba berbagai sumber kehidupan. Tidak ada orang yang bisa hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Bagi setiap kita, sumbangsih dan dukungan orang lain, sedikit atau banyak, adalah bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup itu sendiri.
Karena itu Allah mengingatkan betapa kita para manusia sering saling meminta Ini bisa disebut semacam fakta “saling ketergantungan” antar manusia. Orang-orang dekat benar-benar dekat tidak semata karena rasa, tapi juga karena fungsi dan jasa-jasanya
Tetapi semua harmoni itu bisa saja berubah menjadi nada-nada sumbang. Atau irama kacau. Seperti angin sepoi yang mengantarkan kita pada kantuk lalu tidur yang lelap. Bisa saja ia berubah menjadi topan dan badai yang menghancurkan, melemparkan segala yang dekat ke tempat yang jauh. Semua pergi. Semua hilang. Dan kesepian pun datang mencekam.
Rutinitas yang menggesa, diantara ambisi atau kelengahan adalah sama saja. Sama-sama bisa menghantarkan pada rasa sepi itu. Ambisi bisa tiba-tiba membuat kita lupa. Lupa bahwa ternyata di sekeliling kita ada orang lain yang menjadi bagian kita, yang harus kita tunaikan pula hak-hak mereka. Hidup kadang kita jalani seperti bandul pendulum. Kita mengejar satu sisi begitu jauh, tapi pada saat itu sejujurnya mendapati dua hal yang sangat sulit : menjauh sangat dari sisi yang lain, atau begitu lepas dari sisi yang kita kejar, kita terjembab menabrak sisi yang lain. Hidup memang perlu dijalani dengan seimbang. Seperti layang-layang. Manakala sisi-sisinya memiliki presisi yang baik, ia akan bisa terbang dengan dinamika arah yang indah. Tapi bila sisi sebelahnya lebih berat, maka layang-layang itu akan menghujam ke bumi.
Seperti ambisi yang kelewat jauh yang menciptakan keterasingan, begitu godaan-godaan jiwa memanggil-manggil atas nama rasa bosan, atau juga sedikit iri pada mulanya. Seiring dengan waktu, semua bisa mengantarkan pada suasana yang hambar. Cinta yang hangat tiba-tiba berubah menjadi pertikaian hanya lantaran alasan rasa bosan. Persahabatan dan persaudaraan, atau hidup bertetangga bisa tiba-tiba menjadi ajang permusuhan, hanya karena iri dengki pada mulanya.
Tapi bisa saja segalanya bukan dalam kuasa kita. Saat tak ada pilihan kecuali menjalani hidup yang menjauh dari orang-orang dekat demi mencari peruntungan yang lebih menjanjikan. Begitupun hidup harus memilih, seperti para perantau yang meninggalkan tanah air. Jauh. Dan sangat jauh. Ia tahu bahwa hatinya berlabuh di tanah airnya. Tapi kadang seperti nyanyian klise: rindu tapi benci, atau benci tapi rindu. Sebab setinggi apapun ia mencintai tanah airnya, ia merasa cinta itu tak berbalas. Meski banyak juga orang-orang yang salah dalam memilih. Maka kesepian dan menjauhnya orang-orang dekat juga yang murni karena kesalahan sebagian kita sendiri.
Di sini, dibatas usia kita yang terus bergerak tanpa kompromi, kita tak boleh lelah untuk terus berbenah. Itu semestinya lebih menegaskan lagi betapa kita harus segera sadar, bila ternyata kita mengalami suasana sepi itu. Suasana jauh dari orang-orang dekat. Atau ditinggal menjauh orang-orang dekat. Apalagi, jauh dan dekat memang tak selalu diukur dengan jarak fisik atau bentaran geografis. Jauh dan dekat bisa saja diukur dengan hati dan perasaan kita. Ada orang-orang yang dekat dimata tapi jauh dihati. Tapi ada juga yang jauh dimata tapi dekat dihati.
Sekali lagi, mengapa orang-orang dekat menjadi jauh?
Pertanyaan ini mungkin tidak untuk semua kita. Barangkali hanya sebagian kita. Tapi entahlah bila kenyataan sesungguhnya, itu adalah pertanyaan untuk semua kita.
No comments:
Post a Comment