Amerika

Saturday, October 4, 2014

Cara Memahami Kehidupan

 

Kita tidak hanya peduli pada umur yang panjang, melainkan hidup secara lengkap; untuk hidup yang panjang hanya dibutuhkan nasib baik, sedangkan hidup secara lengkap diperlukan karakter. Hidup yang panjang adalah hidup yang lengkap; hidup menjadi lengkap apabila kita hanya mengisi pikiran dengan kualitas yang baik dan menjadi master untuk diri sendiri. Seneca, the younger (first century AD) Sejauh ini, banyak penelitian positif psikologi yang menyelidiki well-being dianggap sebagai kebahagiaan dan kepuasan hidup merupakan criteria terbaik dalam mendefinisikan good life. Disaat perasaan bahagia dan kepuasan dalam hidupnya merupakan tujuan yang layak, hal ini tidak juga meruapakan satu-satunya criteria penentu dalam mendefinisikan hidup yang layak. Faktanya, di dalam buku Positive Psychology dijelaskan kriteria lain yang dapat digunakan untuk mengukur hasil positif dalam hidup. Termasuk didalamnya pengalaman sehari-hari, rasa cinta dan perasaan terhadap orang lain dan meliputi juga aktivitas kreatif, realisasi potensi diri, dan peningkatan indra dalam memaknai dimensi pengalaman spiritual dalam hidup. Cinta dapat menjadi sensasi dan keindahan emosi, tetapi secara langsung juga berhubungan dengan resiko penolakan, perjuangan, pengorbanan dan konflik. Akan tetapi faktanya cinta akan menjadi bermakna pada saat mengalami kesulitan, ketidaknyamanan dalam menghadapi tantangan dan hambatan. Kebahagiaan merupakan tujuan dalam hidup dapat memunculkan suatu keyakinan baru. Hingga pertengahan 1990 an, mayoritas masyarakat pada negara industri meyakini bahwa mereka harus giat untuk mencari kebahagiaan sebagai tujuan dalam hidup. Padahal sebelumnya hidup merupakan kerja keras dan perjuangan. Kebanyakan orang lebih memperhatikan tentang kesehatan fisik, rasa aman, dan harapan akan beberapa kejadian yang menyenangkan dalam hidup. Dari persepektif sejarah, kebahagiaan berfokus pada pengurangan akan perjuangan yang harus dilakukan. Meskipun mereka tidak bahagia, banyak yang memiliki martabat, keteguhan hati, keberanian, ketekunan, dan dedikasi terhadap keluarga dan teman. Akankah hal ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran dalam hidup yang layak? Perluasan Kriteria Good Life Kebanyakan psikologi positif telah mengenalkan beberapa definisi yang memadai dari good life tidaka hanya semata-mata didasarkan pada besarnya emosi positif yang dirasakan setiap harinya. Beberapa artikel dalam positif psikologi telah mulai diperdebatkan akan bagaimana mendefinisikan full (kepenuhan/kelengkapan), kekayaan, dan hidup yang penuh. Dapat dilihat dari keseluruhan dari buku ini, banyak peneliti yang mendukung emosi positif. Kriteria baru dari good life harus meliputi emosi positif tetapi juga harus mengembangkan definisi yang tepat tentang kompleksitas kehidupan manusia (Aspinwall & Staudinger, 2003). Kebahagiaan sebagai “bonus”, bukan tujuan hidup Berdasarkan kompleksnya emosi manusia, beberapa psikolog mengusulkan bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan dari hidup, akan tetapi lebih tertuju pada produk dari bagaimana hidup seseorang. Menurut Alport kabahagiaan dan kepuasan hidup bukalah tujuan tetapi merupakan kemungkinan konsekuensi dari keterlibatan yang penuh dari hidup. Alport memberikan pertimbangan tentang emosi positif bukanlah hal yang utama. Ia mengatakan bahwa tidak semua konsep kesenangan merupakan pencarian kebahagian….. Keadaan bahagia bukanlah motivator tetapi merupakan produk dari aktivitas motivasi. Kabahagiaan sangat jauh dari kebetulan dan kesatuan dari sesuatu yang dipertimbangkan sebagai tujuan itu sendiri. Alport percaya bahwa well-being telah ditemukan dalam kemauan dan keinginan untuk menjalani pengalaman hidup yang ditawarkan ditambah lagi dengan perjalanan untuk memperluas rasa dalam diri. Nancy Carton dan Catherine Sanderson (1999) menunjukkan persamaan ide dengan mengatakan bahwa well-being ditemukan melalui keterlibatan yang aktif dalam aktivitas kehidupan. Dari perspektif tersebut, pertama-tama individu akan menjadi partisipan dalam kehidupan dan well-being akan mengikutinya. Albert Einstein (1932) mengembangkan perspektif lain dengan mengatakan, “Hanya hidup untuk kehidupan orang lain adalah kehidupan yang berguna” (dalam Calaprice, 2000) Einstein percaya bahwa mementingkan kepentingan orang lain dan focus pada kesejahteraan orang lain lebih baik daripada kita memiliki kebahagiaan, ini merupakan alternatif terbaik dari well-being. Kita Lebih Mencari Makna Ketimbang Kebahagiaan Dengan model yang sama, Viktor Frankl seorang psikolog eksistensialis, meyakini bahwa penciptaan makna – bukan kebahagiaan – seharusnya menjadi kriteria utama untuk kehidupan yang baik. Ia sangat percaya bahwa penciptaan makna tidak dapat dipisahkan dari kebahagiaan, kegembiraan, atau pengalaman emosi tertentu lain yang serupa. Frankl (1978) berkata, “orang yang lebih mencari makna dikecewakan, ia terlalu mengabdi dirinya pada …….. pengejaran kebahagiaan.” Ketika pengejaran ini berakangkat dari sebuah kekecewaan untuk mencari makna ……ini menyiksa diri, karena kebahagiaan hanya muncul sebagai hasil dari hidup orang yang mengalami transedensi diri, yang mengabdi pada suatu kausa yang layak atau seseorang yang dicintai” (pp 82-83). Frankel juga mengatakan dengan jelas bahwa dengan penciptaan makna memudahkan orang untuk menemukan sistem kepercayaan diri yang mendukung self-esteem. Menurutnya, kesehatan mental berkaitan dengan suatu komitmen mendalam tentang kesadaran diri, kejujuran, semangat, tanggung jawab, dan keterlibatan aktif dalam apa saja yang dihadapi dalam hidup. Menurut Frankl, makna hidup hendaknya ditemukan pada setiap saat ketika orang menghadapi berbagai tantangan dan pilihan dalam hidupnya. Robert Emmons (1999) menyodorkan suatu pandangan mengenai penciptaan makna dengan menunjukkan perbedaan antara pengejaran kebahagiaan dan pengejaran makna. Ia mencatat bahwa kebahagiaan terfokus pada menemukan emosi-emosi positif dalam hidup, sedangkan makna kadang melibatkan pengakuan dan penerimaan baik emosi-emosi positif maupun negatif. Ia mengusulkan agar makna dapat ditemukan lewat penerimaan dan pengintegrasian emosi-emosi di dalam hidup yang kaya dengan berbagai pengalaman. Emmons (1999) mengutip kata-kata Rozick, yang mengatakan, “ini tidak jelas bahwa kita ingin saat-saat ini (bahagia) berlangsung terus atau ingin hidup kita seluruhnya diliputi kebahagiaan. Kita ingin pengalaman-pengalaman juga ……..kita ingin pengalaman-pengalaman yang baik, hubungan dengan orang lain mendalam, pengertian tentang gejala-gejala alam mendalam, cinta yang mendalam, ada kita secara mendalam digetarkan dengan musik atau tragedy…. Apa yang kita inginkan, secara singkat, adalah sebuah hidup dan diri yang bahagia adalah kesiapan memberi respon pada –dan kemudian memberinya respon itu” (p. 139). Pengembangan Kepribadian yang Positif dan Matang Faktor lain yang dapat mempengaruhi well-being adalah tingkat perkembangan dan kematangan psikologis setiap orang. Cowen dan Kilmer (2002) mengusulkan agar psikologi positif lebih memberi perhatian pada perkembangan setiap cara/ jalan yang ditempuh orang untuk mengadu nasib. Alam well-being dan good life barangkali sungguh berbeda sesuai dengan perbedaan pilihan dan tujuan hidup yang dikejar setiap orang. Kita tahu, misalnya, orang-orang itu menciptakan dan menentukan sebuah pemahaman mengenai well-being secara berbeda antara kelompok-kelompok dari usia yang berbeda (Ryff & Heidrich, 1997). Apa saja yang secara teoritis, berkaitan dengan berbagai teori lain berasumsi tentang langkah-langkah perkembangan atau tantangan-tantangan yang berkaitan dengan usia dapat berdampak pada bagaimana orang dapat menyemangati dirinya agar memperoleh kesenangan dan kebahagiaan. Perspektif tersebut termasuk gagasan-gagasan mengenai perkembangan psikologis (Erikson, 1950), kematangan (Heath, 1991), pengembangan ego (Loevinger, 1976), pengembangan moral (Gilligan, 1982, Kohlberg, 1984), evolusi diri (Kegan, 1982), penggunaan mekanisme-mekanisme pertahanan yang sehat (Vaillant, 2000), dan lain-lain. Sayangnya, sejumlah dari hal-hal tersebut di atas, langkah pengembangan teori-teorinya menderita karena masalah-masalah umum untuk menetapkan suatu teori, misalnya kesulitan mengidentifikasi hal-hal yang murni tidak relevan dengan rangkaian tahap-tahap membangun suatu teori. Meskipun demikian, kebanyakan gagasan mengenai perkembangan kepribadian yang positif sudah didukung oleh berbagai penelitian, dan itu nampak jelas bahwa sejumlah orang memiliki kematangan psikologis lebih daripada yang lain. Misalnya, kita mengatakan bahwa seseorang memiliki skor sangat tinggi dalam ukuran tentang bijaksana (wisdom) akan memberi perhatian pada well-being dengan berbagai model pertimbangan ketimbang mereka yang mungkin tidak memiliki wawasan, meskipun memiliki banyak pengalaman tetapi tidak menangkap suatu makna yang mendalam dari pengalaman-pengalamannya. Perspektif perkembangan dan longitudinal atas well-being mencoba untuk menjelaskan faktor-faktor yang memungkingkan orang untuk mengembangkan well-being dalam berbagai tantangan yang dihadapi selama sepanjang hidup. Melampaui Kebahagiaan dan Kepuasan Hidup Jadi, nampaknya bahwa well-being dan suasana good life dapat ditemukan lewat berbagai alamat yang berbeda. Meskipun paling banyak penelitian sekarang terfokus pada perolehan kenikmatan dari kebahagiaan dan kepuasan. Sejumlah peneliti terkemuka dalam bidang subjective well-being telah mengatakan bahwa kebahagiaan mungkin “perlu” untuk kehidupan yang baik, tetapi tidak “cukup” (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). Mereka mengatakan bahwa emosi-emosi positif perlu sebagai bagian dari seluruh bingkisan hidup, termasuk faktor-faktor seperti nilai prososial, kesehatan yang baik, dan bekerja demi tujuan-tunuan sosial. Tambahan pula, semua orang tahu bahwa mereka memiliki potensi-potensi yang tidak terealisir. Dalam kenyataan, kita semua tahu bahwa kita dapat merealisir lebih banyak potensi-potensi kita dan menjadi orang yang lebih baik. Filsuf Soren Kierkegaard (1843/1987) berkata, “jika saya ditanya mengenai apa yang saya inginkan, maka saya mengatakan saya tidak menginginkan kekayaan atau kekuasaan, tetapi saya menginginkan cinta yang berkobar penuh potensi, tatapan indah yang pernah dialami orang muda, cinta yang penuh gairah, bayangkan itu mungkin. Saya tidak akan memilih kenikmatan yang mengecewakan, kemungkinan yang tak pernah terwujud. Dan anggur macam apa yang paling murni, yang paling harum, yang paling memabukkan, sebagai kemungkinan!” Mengenai hal-hal menarik perhatian dalam psikologi positif itu, suatu substansi beragam dari berbagai peluang yang ada untuk mendefinisikan well-being. Para peneliti dalam bidang psikologi Positif akan mengalami kelesuan pada suatu ketika untuk menyelidiki kepribadian, lingkungan hidup, intrepretasi mengenai kejadian-kejadian dalam hidup, dan bagaimana semuanya itu berkaitan dengan kriteria-kriteria bagi well-being dan good life. Orang perlu emosi positif maupun emosi negatif Satu masalah potensial berkaitan dengan studi-studi tentang well-being adalah bahwa secara implicit mereka meyakini bahwa orang selalu termotivasi untuk merasakan emosi-emosi positif. Asumsi ini secara mendasar mengenai perspektif motivasi hedonis manusia. Pada hal, kita tahu bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap hedonisme merupakan hal biasa (Parrot, 1993). Kadang orang melakukan hal-hal yang menimbulkan stress atau tantangan-tantangan dalam hidup ketika mengejar tujuan-tujuan mereka. Satu dari sekian banyak komentar mendalam tentang masa depan psikologi positif adalah perlu mengintegrasikan emosi positif dan emosi negatif ke dalan suatu kerangka konsep mengenai well-being dan good-life (lht. Aspinwall & Staudinger, 2003). Para peneliti telah menekankan bahwa pengalaman positif menghasilkan hal yang dibutuhkan dalam hidup untuk menyeimbangkan emosi-emosi positif dan negatif ketimbang menghilangkan emosi negatif. James Pennebaker sudah mempelajari tulisan tentang trauma sebagai satu cara untuk menyelesaikan masalah-masalah emosi yang berkaitan dengannya. Ia menemukan bahwa menggunakan emosi positif dan negatif dalam gaya naratif membantu orang untuk keluar dari trauma dan pindah ke keadaan yang normal (lht.juga King, 2001). Sejumlah teori mengenai kesehatan mental yang baik juga berasumsi bahwa suatu kesehatan yang benar hanya mungkin melalui penyadaran dan pengintegrasian atribut-atribut positif dan negatif (e.g., Jung, 1964; Maslow, 1968). Dalam model yang sama, beberapa studi belakangan telah melihat gejala “muncul kesengsaraan” atau bagaimana orang perlu tantangan dan kesulitan untuk siap menghadapi suatu cara dan strategi baru untuk beradaptasi dengan kejadian-kejadian yang muncul dalam hidup (lihat Ryff & Singer, 2003). Nyatanya, Alport percaya bahwa ini dapat dimungkingkan untuk mennunjukkan kesehatan mental yang baik dan bukan jadi bahagia! Demikian juga, contoh dari sejumlah pengikut Maslow mengenai aktualisasi diri terganggu dan sulit hidup (e.g. Abraham Lincoln pada tahun-tahun terakhir dari hidupnya). Dengan kata lain, sejumlah hal yang nampaknya tidak mendatangkan keenakkan dalam hidup barangkali diperlukan untuk meningkatkan daya tahan seseorang (Stokols, 2003). Satu dari sekian banyak cara untuk menemukan makna adalah melalui hubungan kita dengan penderitaan. Frankl (1963) percaya bahwa penderitaan membawa kita ke cara “mengaktualkan nilai yang paling tinggi, untuk memenuhi makna yang paling dalam….. Mengenai hal-hal tersebut di atas, tergantung pada sikap kita terhadap penderitaan” (p. 178). Oleh karena itu, ia memandang sikap kita terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari sebagai salah satu dari berbagai jalan utama dimana kita dapat menolak kebencian, depresi, dan kemarahan atas penderitaan kita, dan melampaui orientasi self-focus ini untuk menciptakan makna yang mencakup kegembiraan maupun luka dalam kehidupan. Diskusi dari karya Robert Enright mengenai pemaafan juga relevan. Terapi pemaafannya menghendaki seseorang untuk merasakan emosi positif maupun negatif dalam rangka untuk mengeluarkan sesuatu yang salah yang telah diperbuat terhadapnya. Penelitian yang dilakukan oleh Sharon Shapela dan rekannya (Shapela et al., 1999) pada “keberanian dalam melakukan perlawanan” mengilustrasikan gagasan bahwa outcome positif tertentu memerlukan suatu paduan dari emosi-emosi positif dan emosi-emosi negatif. Mereka meneliti orang-orang yang membahayakan kehidupannya sendiri untuk menolong orang Yahudi yang ditindas oleh Nazi Jerman. Biasanya, para penentang yang pemberani adalah orang biasa yang menemukan dirinya dihadapkan pada suatu pilihan untuk mengabaikan ketidakadilan atau untuk melakukan sesuatu yang dapat menolong. Cerita berikut tentang “the cellist of Sarajevo” (pemain celo dari Sarajevo) mengilustrasikan bagaimana sekumpulan dari beragam emosi, termasuk didalamnya harapan, keberanian, kesedihan, dan kemarahan, bercampur aduk dan mengubah seorang musikus yang tak dikenal menjadi seorang pahlawan, meskipun hanya untuk beberapa minggu. Cerita ini dimulai pada tahun 1993 di Sarajevo pada waktu perang Bosnia. Kota telah mengalami pengeboman secara masal, dan beberapa warung roti masih buka. Suatu sore, 22 orang sedang menunggu untuk mendapat roti dari sebuah warung ketika sebuah mortar menghantam warung tersebut, dan mereka semuanya tewas. Vedran Smajlovic, seorang cellist dari National Theater Philharmonic Orchestra, mendengar tragedi ini. Hari berikutnya, ia memakai baju kerjanya – sebuah tuxedo hitam- membawa cellonya ke kawah bekas ledakan bom, dan mulai memainkan musiknya untuk mengenang para korban. Dia kembali lagi setelah 21 hari berikutnya, bermain selama satu hari untuk setiap korban. Kemudian Smajlovic mulai memainkan cellonya di setiap kawah ledakan bom di seluruh Sarajevo. Ia melanjutkan membuat musik, memainkan cellonya dengan memakai tuxedonya, ketika bom-bom dan mortar-mortar meledak di sekeliling kota. Smajlovic menjadi terkenal karena keberaniannya, dan ia menjadi seorang pahlawan di Bosnia. Ia adalah sebuah gambaran tentang bagaimana jiwa dapat membawa seseorang keluar dari horor yang terjadi. Smajlovic melanjutkan permainannya sampai cellonya dihancurkan dan ia dipaksa meninggalkan tanah kelahirannya (Scott, 1999).

No comments:

Post a Comment