Amerika

Saturday, November 9, 2013

PRINSIP HIDUP



Ada orang-orang tertentu di lingkungan pergaulan yang kita kenal sebagai orang yang mencla-mencle. Label mencla-mencle diberikan kepada orang-orang yang dianggap tidak konsisten dalam menyikapi sesuatu.
Misalnya, setelah menyatakan setuju terhadap sesuatu, kemudian berubah menjadi tidak setuju dalam tempo yang relatif singkat. Mencla-mencle ini bisa terjadi untuk kasus-kasus kecil seperti setuju piknik atau tidak, sampai urusan-urusan yang besar menyangkut urusan negara. Tokoh-tokoh terkenal pun tidak lepas dari tuduhan mencla-mencle.
Tentu saja tidak ada orang yang suka dianggap mencla-mencle. Amin Rais menolak dianggap mencla-mencle. Gus Dur berang dan balas menuduh ketika dirasani Sultan HB X sebagai orang yang mencla-mencle, dalam kaitan rencana bertemu Megawati di Yogyakarta.
Kita pun merasa malu kalau dianggap mencla-mencle. Mencla-mencle memang merupakan label yang negatif. Orang yang mencla-mencle berarti orang yang kurang memiliki pendirian, tidak berketetapan hati, atau tidak berprinsip.
Prinsip Hidup
Meminjam arti yang tertulis dalam The Penguin Dictionary of Psychology, prinsip dapat berarti suatu aturan umum yang dijadikan sebagai panduan perilaku.
Jadi orang yang tidak memiliki (atau kekurangan) prinsip berarti adalah orang yang tidak (atau kurang) mempunyai aturan umum yang dijadikan sebagai panduan perilaku.
Karena itu, maklumlah bila orang yang tidak memiliki pendirian/ketetapan hati/prinsip menjadi mudah berubah-ubah sikap atau respon, mengikuti ke mana saja arah angin bertiup; seringkali berupa pendapat orang lain atau situasi, yang paling menguntungkan atau paling aman.
Menurut John Powel, penulis buku Unconditional Love, prinsip hidup adalah wawasan yang bersifat umum, yang diterima atau dilekatkan pada situasi yang dipilih. Misalnya, kita memegang prinsip bahwa yang baik harus dilaksanakan, sedangkan yang buruk harus dihindari.
Prinsip ini mengarahkan perilaku kita untuk memilih yang baik dan menolak yang buruk ketika dihadapkan pada pilihan antara kedua hal tersebut. Prinsip apa saja yang kita pegang, sangat terkait dengan apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan, tujuan hidup, dan nilai-nilai yang kita kukuhi atau kita pegang.
Apabila kita memiliki kebutuhan untuk memperoleh hal-hal yang akan memberikan kesenangan, ingin mencapai kesenangan dalam hidup, maka hal-hal yang kita pandang akan memberikan kesenanganlah yang paling tinggi nilainya buat kita melebihi hal-hal yang lain. Selanjutnya prinsip kesenangan (pleasure principle) atau hedonismelah yang menjadi wawasan dan panduan perilaku kita dalam berbagai situasi.
Apabila kekuasaan yang menjadi kebutuhan, dan kita menjadikannya sebagai tujuan dalam hidup, maka kekuasaan memiliki nilai yang tinggi dan menjadi penting bagi kita. Dalam keadaan demikian, maka prinsip kekuasaanlah yang menjadi wawasan dan panduan perilaku kita dalam berbagai situasi.
Para altruis (orang-orang yang cenderung ingin menyejahterakan orang lain karena empati) memiliki dorongan yang kuat untuk dapat berbuat banyak bagi orang lain. Apabila hal tersebut telah menjadi tujuan hidupnya, dan menyejahterakan orang banyak merupakan nilai tertinggi dalam hidupnya, maka prinsip altruisme yang menjadi wawasan dan panduan perilakunya.
Integritas
Prinsip hidup setiap orang berbeda-beda, dan tidak semuanya dapat diterima oleh masyarakat. Meski demikian, pada umumnya orang yang tidak memiliki pendirian/ketetapan hati/prinsip dianggap tidak memiliki integritas.
Integritas adalah karakteristik yang dimiliki seseorang yang telah mampu mengembangkan kepribadiannya sedemikian rupa sehingga mencapai tingkat perkembangan yang tinggi, seimbang, dan terpadu antarberbagai aspek dalam dirinya: fisik, psikis, sosial, dan spiritual.
Integritas biasanya diasosiasikan dengan kejujuran dan kesesuaian antara nilai-nilai dan perilakunya. Kejujuran berkembang karena tidak adanya konflik antara aspek fisik, psikis, sosial, dengan aspek spiritual.
Antara nilai-nilai dan perilaku terdapat kesesuaian karena spiritualitas yang memimpin perilaku. Sekadar catatan, spiritualitas merupakan realisasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai moral.
Orang yang memiliki integritas telah memiliki pandangan hidup yang jelas. Mereka memiliki jawaban yang pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dirinya sendiri: Siapakah aku (fisik, psikis, sosial, spiritual)?
Apakah tujuan hidupku?
Apa sajakah keinginan-keinginanku? Nilai-nilai hidup manakah yang paling penting dan mana yang tidak penting bagiku? Pengenalan terhadap diri sendiri semacam itu merupakan fondasi untuk menemukan prinsip hidup.
Prinsip hidup orang yang memiliki integritas selalu bersesuaian dengan prinsip-prinsip moral yang sah. Gary Yukl, dalam bukunya Leadership in Organization, menegaskan bahwa perilaku orang yang memiliki integritas haruslah konsisten dengan prinsip-prinsip moral yang absah. Prinsip moral ala Robinhood, yaitu menolong orang miskin dengan mencuri milik koruptor, termasuk yang tidak sah.
Persoalan timbul apabila seseorang: (1) kurang mengenal dirinya sendiri; (2) kekurangan wawasan untuk menentukan batas-batas moral; (3) mengabaikan prinsip hidup yang telah dirintis dan diguratkan dalam hati demi kepentingan sesaat; (4) menyadari bahwa ia memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang tidak sesuai dengan norma masyarakat namun ingin menampilkan diri sebagai orang yang bermoral tinggi agar tetap dihargai (munafik).
Dalam keadaan demikian berarti orang yang bersangkutan tidak memiliki prinsip yang kokoh. Prinsip hidup yang dipegang tidaklah cukup menghasilkan sikap atau perilaku yang konsisten dan dapat menjadi mencla-mencle.
Upaya Menegakkan
Menganut sebuah prinsip hidup membuat kerja psikis kita lebih efisien (ekonomis).
Apabila dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kita memilih, kita menjadi mudah untuk menentukan pilihan; tentu saja yang sesuai dengan prinsip hidup yang telah kita anut. Setiap kali menentukan sikap atau tindakan, kita tidak perlu membongkar seluruh diri untuk mencari tahu apa yang paling kita inginkan karena sudah mengetahuinya.
Jadi, bagaimanakah caranya menegakkan prinsip hidup? Seperti telah disebutkan di atas, pengenalan terhadap diri sendiri merupakan fondasi untuk menemukan prinsip hidup. Pengenalan terhadap diri pribadi ini dapat berlangsung seumur hidup.
Orang bijak mengatakan bahwa kita harus selalu mawas diri. Semakin sering mawas diri, semakin jelas prinsip hidup apa yang harus ditegakkan.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa mengenali diri sendiri seringkali dirasa sebagai pengalaman yang menyakitkan. Bagi kebanyakan orang, tidak mudah untuk dapat menerima kenyataan bahwa dirinya memiliki kelemahan.
Untuk menghindari pengalaman yang menyakitkan ketika menemukan kekurangan diri sendiri, banyak mekanisme yang mungkin ditempuh, seperti represi (disimpan dalam alam bawah sadar), rasionalisasi (mencari pembenaran untuk kelemahan yang ada), proyeksi (mengingkari, menganggap bahwa itu merupakan kekurangan orang lain).
Mekanisme-mekanisme pertahanan ego semacam itu sebenarnya justru dapat menghasilkan penyimpangan perilaku. Cara yang sehat adalah dengan menerima, baik kelebihan maupun kekurangan yang kita miliki. Tentu saja, hal-hal yang positif bisa kita kembangkan, hal-hal yang negatif semakin mengecil.
Selamat menegakkan prinsip!

No comments:

Post a Comment