1. Manusia bertanya
Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya,
manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak
ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling
kepada agama:
“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban
terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti
dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara
mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa
asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan
sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya
apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan
kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?” -- Zaman
Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap
Agama-agama bukan Kristen, 1965.
Salah satu hasil renungan mengenai hal itu,
yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam
Mazmur 8:
“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu
diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu
berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu,
bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya?
-- Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah
memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan
tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa
yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di
seluruh bumi!”
2. Manusia
berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap
iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya
untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas)
itu. Proses itu mencari tahu itu
menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun
metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu
dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni
hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk
mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan
koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi
rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan
manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan
benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia ... Bagian filsafat yang paling mulia adalah
filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari
segala kebenaran".
Unsur "rasional" (penggunaan akal
budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari
dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya
menuju akhirat. Disebut "secara
mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari
sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab
terdalam dari obyek yang dipelajari
("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam
mengembara menuju akhirat". Itulah scientia
rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan
sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang
adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan
kematian. Ada yang berpendapat bahwa
hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang
terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir,
maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan
hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari
hidup". Mengingat berfilsafat
adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think"
(Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976
), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" =
"to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang
Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata
"hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar
kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya
mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar
sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan
menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam
"Hyang Widi" = Tuhan. Kata "vidya" pun dekat dengan kata
Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan
digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran
kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere
= menjauhkan diri dari, mengambil
dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan
satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu
disebut filsafat:
Aras abstraksi pertama - fisika. Kita mulai
berfikir kalau kita mengamati. Dalam
berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi
segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari
hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat
umum: itulah proses abstraksi dari
ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu,
menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat
melepaskan diri dari materi yang kelihatan.
Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat
dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini
disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Kita
dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang
seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya,
dsb. Aras fisika dan aras matematika
jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran
pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut
teologi atau “filsafat pertama”. Akan
tetapi karena ilmu pengetahuan ini
“datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”.
Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena
semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut
“sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang
batas-batas dari kekhususannya.
3. Manusia
berteologi
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis
dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan
iman. Secara sederhana, iman dapat
didefinisikan sebagai sikap manusia
dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber
segala kehidupan di alam semesta ini.
Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan
(misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya
dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal
ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan.
Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku
dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata
"sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok
orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara
bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2)
tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman
dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk
dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan.
Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah
wujud sosial dari iman.
Catatan.
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah
usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa
kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks
inilah kiranya kata akal ("'aql") dan kata ilmu ("'ilm")
telah digunakan dalam teks Al Qur'an.
Kedekatan kata 'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga
dapat dimengerti. Periksalah pula buku
Yusuf Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan ilmu
pengetahuan", Gema Insani Press, 1998.
Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu
dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna
kata "ilmu" dalam teks dan konteks Al-Qur'an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana
diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan "dari bawah".
Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat
hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia
meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan
"dari atas" nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan
kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia
atas "sapaan" Allah itu.
Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan
Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara
lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: "aku tahu kepada
siapa aku percaya" (2Tim 1:12).
Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya
unsur "intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman)
diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek
dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
4. Obyek material
dan obyek formal
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan
obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan
(materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara
menuju akhirat". Dalam gejala ini
jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia
(antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat
(teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup
beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun
kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu
pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.
Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang
dikenal manusia dalam dunianya.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian
khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan.
Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem
filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret
manusia dalam dunianya. Pengalaman
manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap
pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi,
sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui",
itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica.
Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala
itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali
"kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian"
(versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus
"subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari
mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan
menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut
sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat
ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala
ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau
metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
5. Cabang-cabang
filsafat
5.1. Sekalipun bertanya tentang
seluruh realitas, filsafat selalu bersifat "filsafat tentang"
sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan,
kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, ...
Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:
1. filsafat tentang pengetahuan:
obyek material : pengetahuan ("episteme") dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik
ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan
kenyataan:
obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika
umum (ontologi);
metafisika
khusus:
antropologi
(tentang manusia);
kosmologi
(tentang alam semesta);
teodise
(tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat
dalam sebuah tindakan:
obyek
material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.
5.2. Beberapa penjelasan diberikan
disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau
semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?
Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan
pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas
dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan
pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa". Disini bahasa dimengerti sebagai cara
bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan
cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan
yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.
Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu
tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada
ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi
ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan
yang diberikan.
5.3. Menurut cara pendekatannya,
dalam filsafat dikenal ada banyak aliran
filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan
sebaginya.
5.4.
Pastilah ada filsafat tentang
agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala
agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat
hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris,
yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi
dasar tingkah-laku manusia. Yang Kudus
itu dimengerti sebagai Mysterium
Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku
hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih ing Panjenengane.
Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat
diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang
ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah
haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.
Catatan lain.
1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung
es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari
keseluruhannya. Karena iman adalah
suasana hati, maka berlakulah peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam
hati siapa yang tahu". Tahukah
saudara akan kadar keimanan saya?
2. Sekaligus juga patut ditanyakan
"dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah "hati" itu (misalnya dalam
kata "sakit hati" jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan
organ hati (dan kata "sakit hati" karena liver anda membengkak) yang
diurus oleh para dokter di rumah sakit.
Periksa pula apa yang tersirat dalam kata "batin", "kalbu",
"berhati-hatilah", "jantung hati", "jatuh hati",
"hati nurani", dan "suara hati".
3.
Menurut Paul A Samuelson tirani
kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada banyak kata dipakai untuk
menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu
kata. Manusia ditantang untuk berfikir
dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah ("clearly and
distinctly"), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan
menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan
seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam
hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara
dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.
6. Refleksi
rasional dan refleksi imani
Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi
atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat
dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang
sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang
sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama).
Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa
bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel -- bagaimana dalam
perjalanan sejarah sebagai "bangsa terpilih", mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula
dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah
mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan
ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama
Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu
pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.
Catatan.
Bangsa Israel (dan
Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti
sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang
disebut "negara Israel".
Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak
hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan
cetusan penolakan mereka atas
mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para
dewa dan dewi). Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu
(misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian
Lama) merupakan ditopang oleh kalbu
karena merupakan cetusan penerimaan
bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa
itu. Refleksi imani itu sungguh
merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama
dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah
manusia.
Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi
rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi
dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi
bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena
itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.
Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam
lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam
buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran
alternatif" tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber
dunia" dari anak benua India.
Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau
dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan
hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari.
Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb
Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi
sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi
untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi
sebagai pedoman untuk "mokhsa", pembebasan dari keterikatan
kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12
Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa
dihayati melalui cinta. Pada masa
perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk
ber-"dharma yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran
terhadap penjajah yang tak adil. Bagi
Tilak, Arjuna adalah "a man of action" ("karma yogin"), dan
Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui
"perjuangan" yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave,
Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih
sama. Tanpa interpretasi Tilak,
misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat
politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.
No comments:
Post a Comment